76. KEKECEWAAN DINO
76. KEKECEWAAN DINO
"Gue ngomong berdasarkan apa yang gue liat Tia. Lo jangan marah ke gue dong. Salah gue berpikiran seperti itu? Yang gue tahu Dila adalah istri dari Pak Dino. Mereka sudah mempunyai anak empat orang. Dua orang cewek dan dua orang cowok." Daniel tak mau disalahkan begitu saja, ia berusaha membela diri.
"Kadang apa yang kita lihat belum tentu benar Niel," lirih Tia masih menatap Dino dan Bara yang sedang bertengkar. Dila hampir menangis karena melerai pertengkaran mereka.
"Sepertinya lo tahu sesuatu dan merahasiakannya dari gue." Daniel menyentuh bahu Tia, ia memposisikan diri di depan Tia. Ia padangi Tia dari atas sampai bawah. Ia butuh jawaban dari sang pujaan hati.
"Lo enggak perlu tahu dulu apa yang telah terjadi. Biarkan fakta ini terungkap begitu saja."
"Fakta apa Tia." Daniel jadi frustasi sendiri karena Tia tak mau bicara padanya. Bisa-bisa ia mati penasaran karena Tia merahasiakan sesuatu darinya.
"Gue sekretaris Pak Bara. Gue tahu siapa bos gue. Gue enggak terima lo menuduh bos gue tanpa alasan."
"Jika lo enggak mau gue menuduh Pak Bara bilang dong." Daniel mengguncang tubuh Tia untuk memaksa wanita itu bicara.
"Belum saatnya Niel. Gue akan cerita jika waktunya telah tiba. Gue enggak mau semuanya berantakan."
"Kenapa lo main rahasian dari gue Tia? Bukankah selama ini gue selalu membantu lo. Apa arti gue dalam hidup lo?"
Tia mendengus. Kenapa Daniel jadi cengeng dalam situasi seperti ini. Tia kembali melirik Dino dan Bara yang masih saja baku hantam. Mereka masih saja adu jotos meski Dila sudah melerai. Keduanya babak belur. Bibir keduanya mengeluarkan darah. Tia berlari ke arah Dino dan Bara. Dila memegangi pinggang Bara agar tak lagi memukul Dino. Sementara itu Tia memegangi tangan Dino agar tidak memukul Bara.
"Pak Dino, Pak Bara. Stop." Teriak Daniel keras.
"Please…Kalian jangan bikin keributan disini. Ingat kita datang ke pesta ini untuk memeriahkan acara pernikahan putri Tuan Irfan Khan. Jika beliau tahu kalian mencari keributan disini, maka beliau akan marah dan kecewa. Bisa jadi beliau akan memutuskan kerja sama dengan kalian. Pak Bara dan Pak Dino." Daniel menatap wajah mereka bergantian. "Kita sama-sama sudah dewasa. Jangan bersikap seperti anak-anak. Saya tidak tahu permasalahan kalian itu apa. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Tidak perlu kita bertengkar hingga kalian terluka. Lebih baik kita ngomong baik-baik dengan kepala dingin. Jika emosi yang kalian turuti, yang ada kalian akan saling membunuh. Jangan biarkan emosi menguasai kalian."
"Bilang pada bosmu ini." Dino menunjuk ketus pada Bara. "Jangan pernah mengganggu Dila. Dia ibu dari anak-anakku. Jangan pernah masuk dalam kehidupan keluarga orang lain. Beraninya bos kamu datang ke kamar Dila bahkan dia menggoda Dila."
Daniel dan Tia memasang ekspresi kaget. Hanya akting, untuk menunjang drama yang tengah terjadi.
"Benarkah Pak?" Dino mengkonfirmasi pada Bara.
"Tidak seperti yang dia tuduhkan." Bara membela diri seraya berpangku tangan.
"Lo bilang enggak seperti yang gue tuduhkan. Pria asing masuk ke kamar wanita lain? Buat apa kalo tidak berbuat tak senonoh? Gue ini pria tahu apa yang ada di dalam otak lo. Kita ini lelaki Bara. Ibaratnya kaum lelaki ini sama dengan kucing, dikasih ikan asin pasti enggak nolak. Dimakan juga. Coba posisi dibalik. Lo jadi gue. Bagaimana perasaan lo jika ada pria asing yang masuk ke kamar wanita lo?"
Bara hanya diam tak menggubris pertanyaan Dino. Pria itu semakin emosional karena Bara merasa tak bersalah. Saat Tuhan melakukan pembagian otak Bara kemana? Kenapa dia enggak bisa berpikir dengan jernih jika dia yang bersalah? Pikir Dino dengan hati yang dongkol.
"Dino cukup!" Dila membentak Dino.
"Dila beraninya kamu membentakku?" Dino kaget dan kecewa mendapati sikap Dila.
"No bukan maksud aku membentak kamu." Dil berusaha mengklarifikasi namun pria itu sudah meninggalkannnya.
"Dino dengarkan penjelasan aku dulu." Dila menyusul Dino dan mencekal tangan pria itu."
"Enggak ada yang perlu di jelaskan Dila. Sikap kamu sudah menjelaskan semuanya. Kamu ada hubungan spesial dengan pria itu. Silakan kamu bela selingkuhan kamu itu. Aku kecewa sama kamu."
"Dino ini enggak seperti yang kamu kira." Dila mencebik bak anak gadis yang tengah putus cinta.
"Sudahlah. Aku enggak mau bicara sama kamu. Semuanya sudah jelas Fadila Elvarette. Kebohongan apalagi yang tengah kamu mainkan? Aku sudah tak percaya dengan kamu. Aku kecewa. Kamu telah menghancurkan hatiku dan Hanin. Putriku menangis mendapati dia ada dalam kamar." Dino menunjuk Bara. "Hanin bahkan bilang sama aku, jangan sampai pisah sama kamu. Melihat kamu membela dia. Aku sudah tahu pilihan kamu. Aku tidak ingin bicara sama kamu. Hatiku." Dino menunjuk jantungnya. "Hatiku sakit Dila. Aku harus terima kenyataan jika aku tidak pernah dihati kamu. Sudah ada orang lain menduduki tahta di hati kamu," lirih Dino dengan suara pelan. Ia bicara pelan agar tak di dengar orang lain. Harga diri Dino merasa tercabik-cabik kala Dila lebih membela Bara.
"Dino." Dila berusaha tenang. Ia akan meluruskan masalah ini agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi.
"Dino ini enggak seperti yang kamu pikirkan. Aku mendapati Bara pingsan, lalu aku menolong dia. Aku enggak tahu mau bawa dia kemana makanya aku bawa ke kamar dengan bantuan petugas resort."
"Kenapa kamu bisa mendapati dia pingsan. Apa kamu mengikuti dia?"
Skakmat! Dila tergagap. Mulutnya langsung terkunci. Mana mungkin ia jujur pada Dino bahwa ia mengikuti Bara ke pantai untuk bicara dengan Kinanti. Posisinya terjepit. Dila kehilangan kata-kata.
"I-itu….," ucap Dila terbata-bata.
"Cukup Dila." Dino melayangkan telapak tangannya ke depan wajah Dila. "Sikap kamu sudah menjelaskan semuanya. Tidak perlu kamu berusaha membela diri. Pria itu memiliki tempat di hati kamu. Jika kamu mau jujur aku mungkin akan senang."
"Jujur bagaimana Dino? Aku sudah bicara jujur sama kamu."
"Siapa pria itu sebenarnya? Apakah dia ayah kandung dari triplets?" Dino melirik tajam.
Dila terguncang, tak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulut Dino. Tubuh Dila berguncang hebat bak kota Hirosima dan Nagasaki kala di bom.
"Jawab aku Dila jangan diam saja."
"I-itu…." Dila tak sanggup untuk bicara.
"Sekali berbohong kamu akan menutupi suatu kebohongan dengan kebohongan lain. Jawab aku. Iya apa tidak? Aku hanya ingin kejujuran dari kamu."