63. MIMPI BURUK DILA ( 3 )
63. MIMPI BURUK DILA ( 3 )
Bagaimana Dila bisa hidup di tempat terpencil dengan akses terbatas bahkan sinyal untuk komunikasi tidak ada?
Dila benar-benar kecewa pada ayah dan uda Iqbal. Mereka tega melakukan semua ini. Bukankah pernikahannya dengan Bara karena perjodohan Defri. Kurang berbakti apalagi Dila dengan menerima perjodohan ini padahal ia tak mencintai Bara. Saat cinta itu telah tumbuh malah mereka dipisahkan dengan cara seperti ini. Menjadi istri Bara bukanlah hal mudah bagi Dila. Banyak rintangan dan cobaan yang harus dilaluinya, bahkan nyaris menjadi korban pembunuhan Egi ketika berbulan madu dengan Bara.
Dila menelan pil pahit. Mengambil napas dengan teratur.
"Aku harus kuat demi bayi dalam kandunganku. Aku tak boleh menyerah," bisik Dila dalam kalbu seraya mengelus perutnya yang belum membuncit.
Kuala Lumpur International Airport,
Dila mendorong kopernya menuju pintu keluar bandara. Ia kebingungan, kemana akan pergi. Kebingungannya terjawab ketika tante Lala datang menghampiri.
"Ante," pekik Dila haru memeluk sang tante. Lala merupakan adik dari Lusi yang sudah lama menetap di KL. Kebetulan suami Lala seorang pengusaha asal KL. Semenjak menikah Lala tinggal bersama sang suami di KL.
"Dila," ucap Lala haru tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Lala sudah mendengar cerita Dila dari Lusi. Merasa kasihan dengan nasib sang keponakan. Lala marah pada Defri dan Iqbal karena tega memperlakukan Dila dengan buruk.
"Ante." Dila kembali menangis tak dapat menyembunyikan luka di hatinya. Dila tak bisa memendam perasaan ini seorang diri. Ia butuh tempat untuk bercerita dan mencurahkan isi hati.
Dila hanya diam membisu di dalam mobil. Hiruk pikuk kota KL sudah terasa. Mereka melewati jalanan ibukota KL. Mobil Lala memasuki jalanan menuju Suria KLCC. Kebetulan rumah Lala berada di pusat kota.
"Kita mau kemana ante?" Tanya Dila kebingungan melihat mobil menuju parkir bawah Suria KLCC. "Tante mau ajak Dila shopping? Dila enggak mood."
"Kita enggak shopping Dila. Just eat. Ante yakin you pasti hungry," ucap Lala dengan logat melayu dengan aksen Inggris. Terlalu lama tinggal di Malaysia Lala bicara pasti menggunakan bahasa campuran Melayu, Indonesia dan Inggris.
Lala segera memesan segelas teh hangat sampai di restoran. Pelayan restoran sangat gesit sehingga pesanan mereka datang dengan cepat. Kebetulan suami Lala sudah meninggal dunia. Sebenarnya Lala ingin kembali ke kampung halaman, namun bisnis sang suami tak bisa ia tinggalkan begitu saja. Lala tak ingin bisnis yang telah dibangun suaminya dari nol hancur. Suaminya telah bersusah payah membangun bisnis hingga sukses seperti sekarang, tidak mungkin bisnis itu ia abaikan. Lala menggantikan sang suami untuk mengelola bisnis.
"Terima kasih ante." Dila mengambil teh hangat dari tangan Lala. Perutnya keroncongan efek tak ada makanan yang masuk dari pagi.
"Sama-sama Dila. Tenangkan pikiran dan jiwa you dulu. Ante believe kamu tak easy menghadapi semua ini. Ante paham apa yang you rasakan. Tak sangka ante you menghadapi masalah sepelik ini."
"Apa saja yang telah bunda ceritakan sama ante?"
"All. You jangan tersinggung dengan ucapan ante. Lusi bahkan cerita jika your husbandi is gay but dia sudah taubat sekarang. Now, Defri tidak mau jika your husband merusak harga dirinya. Keterlaluan sekali. All people must have masa lalu. Ayah macam apa dia? Tak like ante melihat sikapnya. Harga diri apa yang harus dipertahankan? Kita hidup bukan karena orang. Kita makan bukan dari mereka." Lusi melepaskan uneg-unegnya.
Dila hanya hening ikut mengamini ucapan Lala. Tantenya benar, harga diri apa yang harus dipertahankan. Kita makan bukan dari mereka. Kenapa terlalu menjunjung harga diri jika pada akhirnya menghancurkan keluarga sendiri?
"Ante aku lupa cerita." Dila menatap Lala ragu-ragu.
"Cerita apa?"
"Aku hamil."
"Apa?" Lala menitikkan air mata. Wanita itu memeluk Dila dengan erat. Ikut menangisi nasib Dila yang begitu buruk. "Kamu harus strong Dila demi your child. Ante akan temani and will not tinggalkan you. Napas ante sesak menyaksikan cara mereka memperlakukan you. Family macam apa mereka? Ante angry sama Defri and Iqbal. Jika ante meet keduanya. Percayalah ante akan membela kamu."
Flashback End
***
Bara dibawa sipir penjara menuju tempat eksekusi. Pagi ini akan dilakukan eksekusi mati atas kejahatannya yang telah dilakukannya di masa lalu. Bara akan menghadapi regu tembak. Bara hanya pasrah dan diam ketika dua orang sipir menggiringnya. Ia memang pantas mendapatkan hukuman ini karena telah banyak membunuh orang bahkan korban pembunuhannya tidak pernah ditemukan mayatnya karena Bara melemparkan tubuh para korbannya pada binatang buas peliharaannya. Tubuh para korban hanya tinggal tulang belulang karena daging mereka menjadi santapan piranha peliharaan Bara.
Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5-10 meter dan kembali ke daerah persiapan. Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regu kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan "Lapor, pelaksanaan pidana mati siap."
Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap Bara dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati. Setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan "Laksanakan", kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan "Laksanakan".
Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan tiga butir peluru tajam dan sembilan butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi satu butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor.
Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regu untuk membawa Bara ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki Bara ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri. Bara diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama tiga menit dengan didampingi seorang ustad.
Wajah Bara ditutup dengan kain hitam. Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana. Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati. Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana.
Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana. Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana.
Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak.
Dorrrrrrrr....
Tembakan regu tembak tepat mengenai ulu hati Bara. Pria itu merasakan kesakitan. Ingin melepaskan diri sudah tak bisa karena kondisinya terikat. Dada Bara bersimbah darah. Tubuhnya lemas tak berdaya.
Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata. Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, setelah dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada Bara.