61. MIMPI BURUK DILA ( 1 )
61. MIMPI BURUK DILA ( 1 )
Dila duduk di tepian ranjang menatap Bara yang sedang tertidur lelap. Matanya sembab karena semalaman menangis. Jujur saja ia tak mau meninggalkan suaminya, apalagi ia sudah terlanjur mencintai seorang Aldebaran. Meski laki-laki itu dulunya seorang mantan gay, memiliki sifat egois, jauh dari Tuhan, semaunya dan kejam. Kini Aldebaran bukanlah orang yang sama. Ia telah berubah dan tak semena-mena lagi, pria itu telah menjadi pria yang memiliki kasih sayang dan terlalu bucin dengan sang istri.
Dada Dila terasa sesak harus meninggalkan suami yang sangat dicintainya. Ancaman Iqbal dan Defri tak main-main. Jika Dila tak meninggalkan Bara maka kedua pria itu akan membongkar semua kejahatan dan aib suaminya. Dila tak bisa melihat Bara mendekam dalam penjara. Jika kasus pembunuhan itu naik maka Bara bisa dihukum seumur hidup bahkan hukuman mati akan menanti Bara.
Iqbal juga telah menyediakan tempat untuk Dila mengasingkan diri tanpa diketahui oleh Bara. Menurut Iqbal dan Defri tempat itu aman dan tak akan ditemukan oleh Bara. Dila menarik napas perlahan-lahan. Perasaannya getir dan semakin sakit. Ngilu dan nyeri terasa di dadanya. Meski ini berat tapi pilihan ini harus diambil. Dila tak rela menyaksikan suaminya membusuk dalam penjara. Harus ada yang di korbankan dalam masalah ini. Bagaimana lagi, hidup adalah pilihan. Meski pilihan itu berat namun kita harus tetap memilih.
Dila teringat jika hari ini harus melakukan test pack untuk memastikan apakah embrio yang telah di transfer menjadi janin apa tidak. Dila mengelus wajah tampan sang suami yang terlelap tidur. Tak lupa Dila berlama-lama menyentuh cambang Bara. Dila sangat suka menyukai cambang Bara, menurutnya hot dan geli ketika cambang itu menyentuh kulit pipinya.
Dila pergi ke kamar mandi. Ia mulai pipis dan menampungnya dalam sebuah wajah kecil. Setelah itu Dila mencelupkan test pack dalam wadah air kencingnya sampai batas yang telah ditentukan. Dila mengangkat test pack lalu menunggu beberapa detik apakah dua garis merah atau satu garis. Dila deg-degan menunggu hasilnya. Semoga tidak mengecewakan dan hasilnya seperti diharapkan. Dila melihat hasil test pack. Ternyata dua garis merah. Dila masih tak yakin dengan satu test pack. Ia mencoba dengan berbagai test pack yang telah ia beli. Mulai tipe strip, compact dan digital semuanya menunjukkan kalo ia tengah berbadan dua. Dila yakin jika ia benar-benar mengandung anak Bara.
"Alhamdulilah aku hamil. Terima kasih Ya Allah telah mengabulkan keinginan kami untuk memiliki anak." Dila mengucap syukur seraya memegang perutnya. Tak sia-sia usaha mereka untuk melakukan program bayi tabung. Dalam satu kali percobaan Dila hamil tanpa melalui drama gagal seperti pasutri lainnya. Dila tak hentinya bersyukur atas anugrah yang telah dititipkan Tuhan padanya. Wajah Dila berseri-seri, ia mengandung. Wajah Dila berubah suram ketika mengingat jika pagi ini ia harus meninggalkan Bara. Dila menangis tersedu-sedu. Berita kehamilan ini merupakan berita bahagia namun juga berita menyedihkan untuknya. Ia harus meninggalkan ayah dari anak yang tengah ia kandung. Dila tak bisa membayangkan bagaimana ia hidup tanpa Bara. Bagaimana ia melewati kehamilannya tanpa seorang suaminya. Tempat yang Iqbal sediakan untuknya mengasingkan diri tak tahu entah dimana.
"Kuatkan aku Tuhan. Aku sekarang sedang mengandung anak Bara tapi aku harus meninggalkan dia. Aku tak sanggup berpisah dengannya. Aku sangat mencintainya. Anak dalam kandunganku tak akan mengenal Bara sebagai ayahnya. Cobaan uni terlalu berat Tuhan. Bagaimana aku harus melaluinya? Aku tak sanggup membayangkan hamil seorang diri dan melahirkan tanpa suami. Kenapa semua ini teras berat dan menyakitkan bagiku Tuhan? Ayah dan uda sangat kejam. Mereka tak mengerti perasaanku. Merekalah penyebab aku menderita lahir dan batin. Aku dipaksa untuk memilih meninggalkan suamiku atau melihatnya membusuk dalam penjara. Kenapa semua sangat berat bagiku Tuhan?" Dila menangis terisak-isak seraya memegang hasil test pack. Ia menatap test pack lekat.
Dila menghapus air matanya. Ia keluar dari ke kamar mandi mengambil smarphone lalu menghubungi seseorang.
"Bunda," lirih Dila menangis memanggil Lusi. Ia benar-benar tak kuat menghadapi kenyataan.
"Dila. Kenapa kamu menangis?" Lusi kaget dan shock. Pagi buta Dila telah menelponnya dalam keadaan menangis. Lusi baru saja bangun tidur. Ia akan melaksanakan sholat tahajud lalu mengaji menunggu waktu subuh datang. Lusi juga telah mengetahui rencana Defri dan Iqbal untuk memisahkan Dila dan Bara.
"Aku hamil bunda. Program bayi tabung kami berhasil," ucap Dila terisak-isak.
"Alhamdulilah." Lusi bahagia mendengar berita kehamilan Dila. Ia akan memiliki cucu dari Bara dan Dila. Namun kebahagiaan Lusi hanya sebentar. Hati teremas mendengar tangisan Dila. "Kenapa Dil? Bukannya kamu harus bahagia atas kehamilan kamu? Mengapa kamu malah menangis sesenggukan?"
"Aku bahagia hamil bunda, tapi aku harus meninggalkan Bara. Ayah dan uda telah memberikan aku pilihan berat. Meninggalkan Bara atau melihat dia ada dalam penjara?"
"Bunda sudah tahu nak."
"Kalo bunda tahu kenapa diam saja?" Dila kesal. Lusi telah mengetahui semuanya tapi tak berbuat apa-apa.
"Bunda sudah siapkan kamu tempat melarikan diri tanpa diketahui Ayah dan Iqbal. Mereka juga sudah menyiapkan tempat pengasingan buat kamu. Bunda yakin mereka akan membuat hidup kamu dalam penjara. Bunda tak ingin itu terjadi. Bunda rencananya akan memberi tahu kamu setelah sholat subuh nanti, ternyata kamu sudah menelpon. Nanti Pak Slamet akan datang ke rumah orang tua Bara. Kamu pergi dengan Pak Slamet. Beliau akan mengantar kamu ke bandara. Barang-barang kamu dan juga passport kamu juga sudah ada sama Pak Slamet."
"Apa?" Dila kaget tak menyangka Lusi telah mengetahui rencana suami dan anak sulungnya. Dila lebih tak menyangka jika Lusi bahkan menyiapkan tempat untuknya melarikan diri.
"Kamu bersiaplah. Pak Slamet akan datang dalam waktu lima belas menit. Pesawat kamu berangkat jam enam pagi."
"Tapi bunda…."
"Nanti akan bunda ceritakan semuanya. Pokoknya kamu dengarkan saja ucapan bunda. Tiket juga sudah dengan Pak Slamet."
Mereka mengakhiri panggilan telepon. Dila menghapus air matanya. Ia membasuh wajahnya. Ia keluar dari kamar mandi. Dila mengambil secarik kertas kosong dan pena. Ia menuliskan surat perpisahan untuk suami yang sangat di cintainya. Dila menulis surat dengan cucuran air mata yang tak pernah berhenti dari detik ke detik. Pilu dan getir. Perasaannya berkecamuk. Tak bisa membayangkan anak dalam kandungannya tak tahu dengan Bara. Entah apa yang akan terjadi besok. Takdir begitu kejam telah merenggut kebahagiaannya. Lagi sayang-sayangnya namun mereka harus berpisah. Mungkin ini kisah cinta yang sangat menyesakkan dada. Setelah menulis surat, ia meletakkannya di meja rias. Dila mendekati Bara dan mengusap wajah sang suami. Untuk terakhir kalinya Dila mengecup bibir Bara. Mungkin bibir yang memberikan candu untuknya tak bisa dikecupnya lagi. Dila tahu keputusannya akan membuat Bara membencinya.
"Maafin aku ya Bara. Aku mengambil keputusan sendiri tanpa diskusi sama kamu. Mungkin jodoh kita hanya sampai disini. Mungkin aku menikah sama kamu hanya untuk membuat kamu kembali ke kodrat. Sepertinya tugasku sudah selesai membimbing kamu. Yang kuat Bara. Aku harap kamu tidak pernah membenci aku. Aku melakukan semua ini karena ingin melindungi kamu. Uda tadi datang ke rumah sakit menemui aku. Dia memberikan aku bukti kejahatan kamu di masa lalu. Ayah dan uda mengancamku untuk meninggalkan kamu, jika tidak mereka akan membongkar semua kejahatan kamu. Aku enggak mau kamu masuk penjara. Aku tak ingin melihat kamu menderita. Lebih baik aku pergi dan kamu masih bisa menghirup udara bebas. Setidaknya aku bisa melihat kamu dari jauh. Aku ingat pertama kali kita bertemu. Aku masih jadi marketing MBC ketika itu. Aku mencari nasabah untuk diberikan kredit. Perusahaan kamu sedang berkembang pesat kala itu. Kamu menolak untuk diberikan kredit, tapi kamu mau menaruh dana yang besar di MBC. Kamu membantu aku untuk mencapai target. Meski kamu waktu itu gay cuma kamu baik mau menolong aku. Persaingan antar bank benar-benar sengit. Semenjak itu aku terkesan sama kamu dan menghormati kamu. Siapa sangka dikemudian hari kamu malah menjadi suamiku."