Jodoh Tak Pernah Salah

62.MIMPI BURUK DILA ( 2 )



62.MIMPI BURUK DILA ( 2 )

Dila terus membelai wajah Bara. Ia kecup pipi dan bibir itu kembali. Meluapkan semua cinta dan kasih sayangnya. Meski semuanya berat namun ia harus menjalaninya, tak mungkin membiarkan orang yang dicintainya menderita.     

Dila menahan tangisnya, tak mau tangisannya malah membuat Bara terjaga. Jika ia tak memenuhi permintaan Iqbal dan Defri maka hidup Bara ada dalam bahaya. Dila membuka pintu kamar perlahan-lahan agar tak mengeluarkan suara. Netranya memendar menatap sekeliling rumah mertunya. Hening, belum ada ART yang terjaga.     

Tempat tinggal ART dan keluarga Herman berbeda. Para ART tinggal di paviliun yang ada di belakang rumah.     

Dila berhati-hati keluar dari rumah. Ia menelpon Pak Slamet. Dila bicara pelan agar tak ada yang mendengar. Ternyata Pak Slamet sudah menunggu di seberang jalan rumah Bara. Dila waspada tingkat tinggi. Celingak-celinguk menatap keadaan sekitarnya. Memastikan tak ada orang yang melihatnya. Satpam rumah sedang tertidur lelap di pos jaga sambil menguap. Dila membuka pintu pagar perlahan-lahan. Dila memegang perutnya seraya menguatkan anak dalam kandungannya.     

"Kita harus kuat nak. Kita berpisah dengan papa. Maafkan mama jika mengambil keputusan ini tanpa berdiskusi dengan papa kalian." Dila menitikkan air mata. Ia memukul dadanya dan menghapus air matanya. Ia tak boleh bersedih. Jika ia sedih akan mempengaruhi bayi dalam kandungannya. Ia harus mempertahankan bayi ini. Cukup ia harus merelakan kehilangan Bara, namun tidak dengan bayi dalam kandungan. Anak ini harus terlahir ke dunia ini untuk mengobati luka lara yang tengah menderanya.     

"Pak Slamet," panggil Dila ketika pria setengah baya itu membuka kaca mobil.     

"Dila yuk masuk," lirih Pak Slamet menatap Dila iba. Pak Slamet sudah lama bekerja di keluarga Defri bahkan sebelum Dila lahir. Pak Slamet merupakan sopir pribadi dari Lusi dan Defri.     

"Iya Pak." Raut wajah sedih tak bisa disembunyikan dari wajah cantik Dila.     

Pak Slamet segera menutup kaca mobil ketika Dila masuk. Pria paruh baya itu segera melajukan mobil menuju bandara Internasional Minang Kabau.     

Ketika keluar dari gang rumah Bara, Pak Slamet melihat mobil asisten pribadi Iqbal. Untung saja Pak Slamet tidak menggunakan mobil Defri sehingga tak bisa dikenali. Lusi memintanya merental mobil agar tak terlacak dan tidak ketahuan siapa yang membawa lari Dila.     

"Untung kita cepat Dil." Pak Slamet bernapas lega.     

"Kenapa Pak?" Dila kebingungan dan tak mengerti arah pembicaraan Pak Slamet.     

"Tadi mobil Rudi, asisten Iqbal masuk perumahan suamimu."     

"Apa?"     

"Untung saja ini mobil rental hingga dia tak menyadari kalo di dalam mobil kita. Jika pakai mobil biasanya pasti dia akan tahu."     

"Syukurlah Pak." Dila mengelus dadanya. Ada sedikit perasaan lega.     

Tak lama kemudian handphone Dila bordering. Ada panggilan masuk dari Iqbal. Dila menekan tombol hijau yang ada di layar.     

"Ada apa?" Tanyanya ketus. Tak ada lagi panggilan hormat seperti biasanya pada sang kakak. Dila sangat kecewa dengan sikap Iqbal. Lelaki itu seperti orang lain bukan lagi saudara yang menyayanginya.     

"Rudi sudah menunggu kamu di depan rumah," jawab Iqbal mengacuhkan sikap ketus Dila. Bagaimana pun Iqbal harus menjaga harga diri dan kehormatan keluarga besar Defri Sulaiman. Tak ingin nama baik keluarganya tercemar karena ulah Aldebaran.     

"Aku sudah pergi, tapi tidak pergi dengan Rudi."     

"Dengan siapa kamu pergi?" Iqbal naik darah. Ia meradang Dila telah membantah perintahnya. Beraninya melarikan diri bukan ke tempat yang telah ia sediakan. Iqbal mengepalkan tangannya hingga kuku jarinya memutih.     

"Dengan siapa aku pergi uda tidak perlu tahu. Aku akan pergi ke tempat jauh, ke tempat yang tidak pernah uda ketahui dan juga Bara. Sudah puas melakukan semua ini? Seharusnya sebagai anak tertua uda harus bisa memberi masukan buat ayah bukan menjadi kompor dalam hubungan kami. Percayalah uda, Tuhan tak tidur dan diam. Kamu telah memisahkan aku dan Bara. Suatu saat perpisahan akan menimpa keluargamu. Uda menyakitiku terlalu dalam hingga aku tak yakin luka yang uda goreskan akan sembuh." Dila berusaha tegar tak menunjukkan kesedihannya pada Iqbal.     

Pak Slamet tertegun mendengar percakapan Dila dan Iqbal. Pria it uterus saja menyetir mobil menuju bandara. Mereka harus segera sampai di bandara. Pesawat Dila akan berangkat jam 06.10 WIB.     

"Percayalah karma itu ada. Kini uda merusak rumah tanggaku. Rumah tangga uda akan hancur dengan sendirinya. Uda sendiri yang akan merusak rumah tangga itu. Aku akan pergi dari kehidupan kalian. Jangan pernah mencariku lagi. Selamat tinggal." Dila mematikan telepon dengan perasaan tak tentu. Ada rasa sesak, kecewa dan sakit hati. Dila tak habis pikir Iqbal tega melakukan semua ini. Ketika Iqbal dihujat dan dibenci karena memutuskan untuk poligami Dila pasang badan untuk membela sang kakak. Pada akhirnya keluarga besar menyetujui pernikahan Iqbal dan Ria.     

Pagi baru saja menyapa, namun hati seorang Fadila Elvaretta bak tersayat sembilu. Bagaimana tidak, pada akhirnya takdir mempermainkan pernikahannya.     

"Ini tiket dan paspor Dil," kata Pak Slamet seraya menggotong koper Dila menuju pintu masuk bandara. Ia harus bergegas karena pemeriksaan imigrasi sangat lama.     

"Aku mau kemana Pak?" Dila kebingungan menerima tiket dan paspor dari tangan Pak Slamet.     

"Ibu Lusi mengirim Dila ke KL."     

"Berarti bunda meminta aku....…."     

"Ya seperti itu." Pak Slamet memotong ucapan Dila. Pria itu tak mau berlama-lama bicara takut orang-orang Iqbal memergokinya.     

"Dila secepatnya cepat masuk. Bapak takut jika orang suruhan Iqbal ada disini."     

Dila menganggukkan kepala seraya mengelus perutnya. Memberikan kekuatan pada sang bayi.     

"Baik Pak. Bilang sama bunda jika aku sekarang sedang hamil."     

"Apa?" Pak Slamet kaget. Tiba-tiba iba pada Dila. Dalam kondisi hamil harus berpisah dengan sang suami. Pak Slamet tidak bisa membayangkan Dila hidup seorang diri membesarkan sang buah hati.     

"Sabar Dila. Semoga badai ini segera berlalu." Pak Slamet meneteskan air mata. Ia sudah menganggap Dila seperti anaknya sendiri. Dila anak yang sopan meski ia hanya sopir pribadi orang tuanya     

"Pak, apa aku kuat?" Dila kembali mencebik. Air matanya turun dengan sendirinya. Entah apa yang terjadi besok.     

"Dila harus kuat demi bayi dalam kandungan. Ibu Lusi sengaja mengirim Dila ke KL agar tidak tinggal di pulau terpencil."     

"Apa? Pulau terpencil?"     

"Iya. Mereka akan mengirim Dila ke pulau terpencil. Akses untuk komunikasi tidak ada disana. Mereka sengaja melakukannya agar Dila tak bisa menghubungi Bara."     

"Ya Allah mereka tega sekali."     

"Berhentilah menangis. Segera check in. Takutnya ketinggalan pesawat."     

Dila segera berpamitan dengan Pak Slamet. Tak lupa ia berjabat tangan dengan Pak Slamet. Pak Slamet melepas kepergian Dila dengan perasaan terluka. Tak pernah membayangkan anak sebaik Dila mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan dari keluarga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.