58. RASA BERSALAH IQBAL
58. RASA BERSALAH IQBAL
"Jangan sok kaget seperti itu."
"Aku benaran kaget."
"Jika kamu kakak yang baik, tidak mungkin kamu memisahkan Dila dan Bara. Kamu berdosa besar memisahkan suami dan istri. Kamu sudah mendapatkan karma. Kamu kehilangan kedua istrimu sekaligus. Seharusnya kamu introspeksi diri Iqbal."
Ucapan Naura tepat mengenai ulu hati Iqbal. Ada rasa ngilu dan nyeri yang tengah menderanya.
"Kenapa lidahmu sangat tajam Naura?"
"Aku harus tajam pada orang seperti kamu. Harga diri yang kamu pertaruhkan? Sampai mana harga diri kalian hingga memisahkan mereka? Kamu tahu bagaimana sakitnya mereka ketika dipisahkan?" Napas Naura tidak beraturan karena emosi, lalu ia melanjutkan ucapannya. "Aku sangat dekat dengan Dila dan aku tahu bagaimana terlukanya dia karena dipaksa meninggalkan Bara. Kau egois Iqbal. Bukan hanya kamu tapi juga ayahmu. Persetan dengan harga diri yang kalian banggakan itu. Lebih baik jadi mantan gay daripada mantan orang baik. Kamu mantan orang baik."
"Kenapa kamu tidak mengatakan hal ini dari dulu?" Iqbal tertunduk lesu. Rasa bersalah kembali menderanya. Ia sadar jika perpisahannya dengan Naura mau pun Ria hukuman dari Tuhan. Sekarang hidupnya tak tentu arah dan tak ada tujuan. Hidupnya hampa tanpa istri dan ketiga anaknya.
"Aku baru tahu jika Dila dan Bara tidak bersama. Kamu tahu betapa egoisnya dan kejam sebagai seorang kakak? Kamu bukan lagi orang yang aku kenal. Kenapa kamu harus sama dengan ayah? Harusnya sebagai kakak harus mendukung Dila dan mengingatkan ayahmu. Buat apa mengagungkan harga diri Iqbal jika pada akhirnya keluarga kamu hancur? Kita hidup bukan karena omongan orang lain. Jika kalian hidup memikirkan kata orang tidak akan ada habisnya. Mereka akan tetap mencela apa pun yang kalian lakukan. Jika hidup terlalu mengagungkan harga diri percayalah kita tak akan pernah bahagia dan hidup dalam kepalsuan. Jangan pernah mendengarkan komentar orang lain karena kita enggak makan dari mereka. Hidup itu sebenernya sederhana, sesederhana orang lain begitu gampang mengomentari tentang kehidupan kita dalam kondisi apapun. Apapun kondisi kita saat ini tidak akan bisa lepas dari komentar orang lain, namanya aja makhluk sosial. Kita yang jalani, Tuhan yang menentukan, orang lain yang mengomentari. Itulah hidup. Artinya kalau tidak tahan dengan komentar orang lain gak usah hidup. Jangan terlalu ambil pusing dengan komentar atau ocehan orang lain. Ingat kamu tidak bisa menutup mulut mereka hanya dengan kedua tangan kamu karena mereka banyak. Yang kamu bisa dan harus lakukan adalah menutup kedua telinga kamu dengan kedua tanganmu itu. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan tentang kamu karena akan selalu ada orang lain yang ingin melihat kamu gagal karena mereka juga tidak bisa berhasil. Albert einstein pernah berkata "jangan terlalu ambil pusing dengan omongan orang, kadang mereka punya mulut tapi tidak punya otak". Tidak usah sakit hati atau baper dengan omongan orang lain karena apapun yang kamu lakukan kalau dia membencimu maka sebaik apapun yang kamu lakukan atau perbuat, akan selalu salah dimata dia, tapi bagi orang yang mencintaimu apapun yang kamu lakukan, mereka akan selalu mencintai apa adanya."
"Aku tahu salah Naura."
"Kamu memang bersalah." Naura menumpahkan semua kekesalannya.
"Darimana kamu tahu kondisi Bara?"
"Aku bertemu dengan Dian dan Zico." Naura mengambil posisi duduk berseberangan dengan Iqbal.
"Mereka tinggal di Jakarta juga?" Iqbal kembali diliputi rasa kaget. Mereka pindah ke Jakarta agar tak bertemu keluarga Bara ternyata mereka malah kembali tinggal satu kota.
"Begitulah," jawab Naura singkat.
"Dimana Dila?"
"Aku juga tidak tahu dimana Dila."
"Jangan bohong." Naura bangkit menghampiri Iqbal lalu menarik kerah baju mantan suaminya.
"Aku tidak bohong," jawab Iqbal dengan mata berkaca-kaca. Ia sudah kehilangan kepercayaan dari Naura. Apa pun yang dikatakannya, tak akan dipercayai lagi. Dunianya telah jungkir balik akibat perbuatannya sendiri. Akibat ego dan perintah Defri.
"Tidak mungkin kamu tidak tahu." Naura menatap sinis.
"Demi Tuhan Naura. Aku tidak tahu dimana Dila."
"Jangan membawa nama Tuhan Iqbal. Kamu terlalu kotor untuk mengucapkannya. Mana mungkin tidak tahu jika kamu yang merencanakan semuanya."
"Pada hari itu sudah menyiapkan semuanya, namun Dila tak datang ke tempat yang kami janjikan. Kami kehilangan jejak Dila. Sudah tiga tahun aku tidak komunikasi dengan dia."
"Kamu bohong!" Naura tak mempercayai ucapan Iqbal. Ia merasa Iqbal sengaja tak mau memberitahunya.
"Terserah kamu percaya atau tidak. Aku rasa kita terlalu banyak bicara. Aku ingin bertemu dengan anak-anak. Telpon Ria agar mengantarkan anak-anak kesini. Tidak enak jika datang ke rumah Ria. Aku tidak enak dengan suaminya."
Naura berdecak kesal. Menatap Iqbal dengan perasaan muak, eneg dan malas. Jujur saja ia sudah tak ingin berurusan dengan Iqbal. Pria itu telah menorehkan luka yang dalam di hatinya. Naura belum bisa mempercayai jika Iqbal memukulnya dan Ria. Selama pacaran Iqbal tak pernah melakukan kekerasan. Setan apa yang telah merasukinya hingga bisa melakukan kekerasan pada mereka.
Naura mengambil smartphone lalu menghubungi Ria.
"Ria bisa datang ke rumah bawa anak-anak? Aku sudah di rumah dan Iqbal ingin bertemu dengan anak-anak."
"Uni serius akan mempertemukan mereka dengan Iqbal?" Ria tercengang. Keningnya berlipat tiga, Naura mengijinkan Iqbal bertemu anak-anak.
"Serius."
"Nanti kalo dia bawa kabur anak-anak gimana?" Ada rasa khawatir menyelimuti hati Ria.
"Dia tidak akan berani. Aku jaminannya."
"Baiklah uni." Ria mengalah.
Sepuluh menit kemudian Ria datang bersama Allea, Attar dan Aina. Rumah mereka hanya beda beberapa blok sehingga tak butuh waktu lama. Anak-anak sudah beranjak remaja. Allea dan Attar sudah sepuluh tahun dan Aina enam tahun.
"Papa," teriak Aina berlari memeluk Iqbal.
Allea dan Attar hanya terdiam terpaku menatap Iqbal dari jauh. Mereka berdua mengerti kenapa orang tuanya berpisah. Mereka terlalu cepat dewasa untuk anak umur sepuluh tahun, terlanjur kecewa dengan sang papa karena telah memukul mama dan mami.
"Kalian tidak mau peluk papa?" Iqbal melirik Allea dan Attar.
Ria juga berdiri di belakang keduanya. Hanya diam mematung bahkan cenderung membuang muka, tak mau melihat mantan suaminya. Rasa benci dan muak menyergap perasaan Ria. Rasa sakit hati itu masih ada sampai sekarang.
"Tidak malas. Kami sudah besar," jawab Allea ketus sambil berpangku tangan.
"Ini yang kalian ajarkan pada anak-anak? Membenci papanya sendiri?" Iqbal menatap sinis Naura dan Ria bergantian.
"Mama dan mami tidak pernah mengajarkan kami untuk membenci papa. Kami bukan anak kecil lagi. Kami tahu apa yang telah papa lakukan pada mama dan mami. Kami melihatnya papa," jawab Attar dengan mata berkaca-kaca. Attar sangat tinggi bahkan tingginya mengalahkan Ria.
Iqbal memelas, hatinya benar-benar dihujam dengan pisau tajam. Sakit rasanya dibenci Allea dan Aina. Keduanya sudah besar dan mengerti apa yang terjadi dengan orang tua mereka.