Jodoh Tak Pernah Salah

24. JALAN KELUAR DARI TIA



24. JALAN KELUAR DARI TIA

Dian sedang memikirkan cara agar Kinanti mau memasok bahan baku untuk perusahaan mereka tanpa menaikkan harga. Bumil itu berpikir keras untuk menemukan solusi atas masalah ini. Naiknya harga bahan baku bukan perkara gampang untuk mereka. Kinanti sangat pintar membaca situasi sehingga wanita itu berani mempertaruhkan harga dirinya demi mendapatkan Bara. Cara yang dilakukan wanita itu sangat menjijikkan dan murahan.     

Dian mengelus perut buncitnya. Tendangan dari dalam mengagetkan Dian dan membuatnya bangkit.     

"Ada apa?" Bara khawatir melihat Dian.     

"Dia menendang bos." Dian menunjuk perutnya.     

"Lagi main bola di perut mami dek?" Bara mengalihkan pemandangannya ke perut Dian.     

Bara mengajak bayi dalam kandungan Dian bicara. Bayinya sangat aktif. Ketika diajak bicara tendangannya semakin kuat. Pria itu bisa melihat bagaimana sang jabang bayi bermain-main di dalam rahim Dian. Pergerakannya begitu jelas dan membuat pria itu takjub. Ingin menyentuh perut Dian, namun niat itu diurungkan. Bara tahu batasannya. Jika melihat Dian hamil dan bayinya bergerak, membuat perasaan Bara tercabik. Seketika ia ingat dengan mantan istrinya. Bara merasa kecil hati tak bisa mendampingi mantan istrinya ketika mengandung anak mereka. Bara bahkan kadang menangis sendirian jika mengingat ia punya anak.     

Keyakinan pria itu sangat kuat jika mantan istrinya hamil. Mual dan muntah Bara terhenti di bulan sembilan, pertanda anak itu telah lahir ke dunia. Satu pertanyaan besar muncul di kepala Bara kenapa sang mantan istri tidak pernah datang kepadanya atau minimal memberi tahunya jika wanita itu telah melahirkan anaknya. Meski mereka telah berpisah, anak dalam kandungan wanita itu tetaplah darah dagingnya. Hubungan mereka tidak akan pernah putus sampai kapan pun.     

Dulu Dian pernah berkata hanya perasaan Bara saja jika mantan istrinya hamil. Bara tak percaya begitu saja dengan ucapan Dian karena ia melihat Zico mengalami hal yang sama. Dian pernah berkata dengan kejam, mungkin anak yang dikandung mantan istrinya bisa saja anak dari suami barunya. Bara tak begitu saja percaya karena tak mungkin mereka ada ikatan batin jika anak itu bukan anaknya. Semenjak itu Bara tak lagi membahas mantan istrinya di depan Dian mau pun Herman.     

"Apa kamu sudah menemukan cara agar Kinanti mau menjual bahan baku kepada kita dengan harga yang normal."     

"Aku sudah ada rencana sih bos, tapi ragu." Dian menggaruk kepalanya.     

"Ragu kenapa?"     

"Caranya terlalu kotor untukku."     

"Kotor seperti apa? Coba jelaskan kepadaku!"     

"Mengancam dia dengan membuka skandalnya," cicit Dian dengan suara pelan.     

"Skandalnya?" Bara memicingkan mata.     

"Skandal apa maksudnya?" Tanyanya lebih lanjut.     

"Wanita itu penganut seks bebas. Semenjak jadi janda dia bersenang-senang di klub dan berganti pria setiap malam. Bukti kebobrokan dia bisa kita gunakan untuk menekan dia menjual bahan baku dengan harga normal pada kita."     

"Aku menolak usulan kamu. Aku tidak mau bersikap yang sama dengan dia. Biar saja wanita itu yang licik, tapi kita tak perlu meniru gaya murahan wanita itu."     

"Aku juga bilang kotor bos. Aku tak mau melakukannya," cicit Dian lagi.     

"Amit-amit melakukannya bos. Lagi hamil gini mana mungkin berbuat aneh." Lanjutnya lagi.     

Ketukan pintu dari luar mengalihkan pandangan Bara dan Dian. Mereka melihat kepala Tia dari balik pintu.     

"Apa saya boleh masuk Pak, Bu?" Tanya perempuan itu.     

"Masuklah," ucap Bara memberikan izin.     

Tia, sekretaris Bara yang sangat cantik dan aduhai itu masuk ke dalam ruangan. Untuk seorang sekretaris Tia sangat cantik, seksi, tinggi dan montok. Tia lebih cocok jadi model daripada sekretaris. Tak ada laki-laki yang tidak terpesona melihatnya kecuali Bara. Hanya pria itu yang bereaksi biasa saja melihat Tia. Meski Tia sahabat Rere, namun ia bersikap profesional pada Bara dan Dian.     

"Awas saja jika yang kamu sampaikan tidak penting," ucap Bara dingin. Aura dingin dan gelap terlihat dari pria itu.     

Tia memaksakan senyumnya meski Bara tak bersikap ramah padanya. Dia tahu dari Rere bagaimana sikap bosnya itu. Sangat dingin dan arogan dengan bawahan.     

"Saya udah cari tahu tentang ibu Kinanti Pak. Saya ada good news," ucapnya bersemangat.     

"Apa itu?" Dian penasaran.     

"Perusahaan Ibu Kinanti akan bekerja sama dengan PT. Alanas Mandiri. Kinanti membutuhkan mineral dan batubara untuk bahan baku di perusahaan mereka. Kedua bahan baku ini dibutuhkan Kinanti untuk meningkatkan produksi. Jika Alanas Mandiri tidak memasok bahan baku ke perusahaan Kinanti maka produksi perusahaan dia akan lumpuh total." Tia bicara dengan semangat.     

"Tunggu dulu. Alanas Mandiri perusahaan suamiku?" Dian mengkonfirmasi.     

"Benar Bu." Tia mengangguk. "Bapak dan Ibu sudah paham maksud saya?"     

Bara menjentikkan jarinya, paham maksud Tia. Bara bersujud syukur menemukan cara agar Kinanti mau menjual bahan baku pada mereka dengan harga normal tanpa perlu merendahkan harga dirinya untuk memohon dan menjadi suami dari janda gatal itu. Bara mengacungkan jempol pada Tia. Tidak sia-sia punya sekretaris seorang fangirl yang memiliki bakat hebat menjadi seorang stalker. Stalking jalan ninja yang digunakan Tia untuk menemukan sesuatu. Wanita itu punya cara-cara yang ajaib untuk memberikan solusi atas masalah perusahaan mereka.     

"Sepertinya aku membutuhkan bantuan Zico kali ini Dian." Bara tersenyum manis menatap Dian.     

"Silakan bos berurusan dengan suamiku. Aku tidak mau ikut campur." Dian angkat bahu menunjukkan wajah menyebalkan pada sang bos.     

"Sepertinya kita sudah menemukan jalan keluar. Apa aku bisa kembali ke ruangan aku bos. Kakiku pegal sekali." Dian bangkit dari kursi dibantu oleh Tia.     

Dian sudah kepayahan berjalan padahal kandungannya masih enam bulan. Kemungkinan besar bayi yang dikandung Dian berjenis kelamin laki-laki. Bayi itu sangat aktif dan membuat sang ibu kepayahan. Bukankah mitos yang beredar di masyarakat jika wanita mengalami kepayahan saat hamil, gerakan bayi aktif, tidak mau makan dan minum maka anaknya berjenis kelamin laki-laki?     

"Yuk Tia kita keluar. Biar saja bos dengan bos bicara," sarkas Dian tersenyum kecut.     

"Mari saya bantu Bu." Tia memegangi tangan Dian.     

Dian berjalan dipapah oleh Tia. Efek jalan cepat membuatnya kelelahan.     

"Mari ke ruanganku," ajak Dian pada Tia.     

Tia mengangguk lalu mengekori Dian dari belakang.     

"Silakan duduk!" Titah Dian ketika mereka sudah berada dalam ruangannya. Tia duduk di sofa seraya memandang Dian dengan perasaan cenat-cenut. Apalagi yang akan dikatakan Dian padanya.     

"Kamu kenapa ketakutan gitu Tia?"     

"Enggak kok Buk," elak Tia memaksakan senyumnya.     

"Saya manggil kamu bukan berarti marahin kamu."     

"Kirain Buk." Kekeh Tia tertawa kecil.     

"Bagaimana ceritanya tadi Kinanti merayu bos?"     

"Oh itu." Tia malah tertawa.     

"Kenapa kamu udah tertawa aja Tia? Belum cerita sudah tertawa."     

"Abisnya janda sialan itu enggak tahu malu banget sih Bu."     

"Enggak tahu malu gimana?" Dian semakin kepo.     

"Masa dia beraninya mengajak si bos menikah lalu meraba-raba paha si bos. Naik pitam lo si bos sebenarnya. Kalo enggak ingat butuh bahan baku dari Kinanti mungkin udah dijambak sama si bos dia."     

"Ckck. Murahan sekali dia."     

"Dia mau turunkan harga jika bos menerima cintanya. Tahu banget bahan baku kita kali ini hanya perusahaan dia yang produksi makanya dia berani kayak gitu sama bos."     

"Saya benar-benar muak liat wanita itu."     

"Bu jangan benci banget sama Kinanti nanti anak Ibu bisa mirip dia," ucap Tia tertawa terbahak-bahak.     

"Amit-amit jabang bayi." Dian mengelus perutnya. "Itu hanya mitos. Yang bikin saya dan suami saya. Mana mungkin mirip janda gatal itu."     

"Terlalu membenci juga tidak baik Bu." Tia mengingatkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.