7.HALALIN DIAN
7.HALALIN DIAN
Zico tersenyum manis ketika melihat Egi sudah memasuki kafe. Suara penyanyi cafe terdengar sangat merdu. Para pengunjung sangat menikmati suaranya yang sangat khas, mendayu-dayu dan suaranya sampai sepuluh oktaf. Siapapun yang mendengarkan suaranya pasti akan setuju jika penyanyi cafe ini pantas menjadi seorang penyanyi terkenal.
Pita suaranya sama seperti Adele. Sangat merdu menyanyikan lagu nada tinggi.
Selama menunggu Egi, Zico menikmati nyanyian dari sang penyanyi. Dia benar-benar terhibur. Penyanyi kafenya tidak kaleng-kaleng. Setelah mengajak Dian dan Alvin jalan-jalan, ia mengajak Egi ketemuan. Mereka sudah lama tidak bertemu dan mengobrol.
"Lama nunggunya bro?" Egi dan Zico bersalaman.
"Enggak juga," balas Zico seraya menenggak espresso.
"Maaf gue lama bro. Bini gue musti dibobokkan dulu."
"Kayak bayi," celetuk Zico mentertawai Egi.
"Sejak hamil dia manja."
"Lo udah jadi suami yang siaga. Itu gimana ceritanya kalian bisa nikah?"
"Pak Wira enggak setuju sama hubungan kami. Kami nekat aja nikah di KUA. Alasan Pak Wira nolak gue karena mantan gay. Alasan yang sama memisahkan Bara dan Dila. Setidaknya gue lebih beruntung daripada Bara." Egi menerawang melihat jendela kafe.
Hujan turun rintik-rintik. Penyanyi menyanyikan lagu mellow yang menceritakan kisah kasih tak sampai. Egi dan Zico bahkan ikut larut dalam nyanyian sang penyanyi.
"Kenapa gue ikutan sedih dengar lagu yang dinyanyikan penyanyi itu." Egi berkomentar menatap Zico.
"Sama. Gue juga. Penyanyi kafenya enggak kaleng-kaleng. Berbakat dia," puji Zico jujur.
"Lagunya menggambarkan kisah Bara dan Dila. Terlalu banyak cobaan yang mereka hadapi. Dulu gue yang jadi penghalang dalam hubungan mereka. Sekarang ketika mereka sudah saling mencintai, keluarga Dila yang jadi penghalang. Emang kita nggak tahu jodoh ya bro. Jalannya gimana, cobaan apa yang akan kita hadapi. Gue nggak nyangka jika Bara sampai berada di titik ini. Dia dihabisi lawan politik, dijatuhkan secara paksa, kemudian dia membalas balik lawan politiknya. Isu dia mantan gay mencuat, Dila pergi meninggalkan dia. Ketika mencari Dila malah ditembak sama lawan politiknya. Sekarang ketika dia sembuh dari koma malah hilang ingatan. Kok miris banget ya nasib Bara?" Hati Egi terasa dicabik-cabik.
"Kita nggak bisa tahu bro takdir seseorang. Kadang kita diuji dengan cobaan yang begitu berat, agar kita bisa menjadi manusia yang kuat. Mungkin cobaan yang diterima Bara untuk menjadikan dia manusia lebih baik ke depannya. Gue juga miris sih liat nasib dia. Ketika dia sudah bahagia dengan keluarga kecilnya, ada saja yang merusak. Sekarang dia tidak tahu apa-apa, bahkan tidak ingat dengan keluarganya. Yang dia ingat hanya mamanya saja. Dian harus bersusah payah mengingatkan Bara tentang masa lalunya."
"Dari nada bicara bro sepertinya ada sedikit kecemburuan di dalam sana." Egi menyenggol lengan Zico. Dia tertawa mesem melihat perubahan ekspresi Zico.
"Nggak ada gue cemburu." Zico tak mau mengakui perasaannya. Dia hanya geleng-geleng kepala ketika Egi terus menggodanya.
"Mulut berkata A tapi hatinya berkata B. Udahlah bro sama gue enggak usah ditutupi. Gue ngerti kok perasaan lo, kalo sebenernya lo itu suka sama Dian." Egi tergelak tawa. Ia meminum espresso yang telah Zico pesankan untuknya.
"Apaan sih bro?" Zico masih malu mengakui.
"Akui aja apa salahnya." Egi kembali menyenggol lengan Zico.
Zico mengalihkan perhatian dengan memanggil pelayan. Ia menambah pesanan.
"Kelihatan banget gugup bro. Tenang aja gue nggak bakalan makan lo kok. Kalo lo jujur gue bisa bantu."
"Serius?" Zico jadi semangat.
"Seriuslah. Masa enggak." Ekspresi Zico terlihat lucu di mata Egi.
"Sejak kapan lo suka sama ibu dari anak lo?" Egi mulai menanyai Zico.
"Sejak dia berusaha menyelamatkan gue dari kematian. Saat gue kritis tenggelam di laut. Dian menyelam menyelamatkan gue memberikan napas buatan." Zico memegangi bibirnya.
"Lo mau kiss lagi sama Dian?"
"Kalo bisa lebih bro." Zico keceplosan. Dengan ekspresi lucu ia menampar mulutnya.
Egi merangkul Zico lalu menepuk bahunya.
"Jika lo kerja keras bakal bisa mendapatkan Dian."
"Kerja keras?" Zico mengernyitkan dahi.
"Jangan salah kaprah bro. Kerja keras maksud gue. Lo tunjukkin ke dia kalo lo suka. Kalian selama ini tinggal serumah enggak pernah khilaf gitu?"
"Enggak pernah. Mau malah." Zico malah blak-blakan.
Tawa Egi pecah mendengar penuturan Zico yang begitu jujur. Pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Egi memakan stik kentang yang dipesan Zico.
"Enggak mau ah gue khilaf bro. Bisa dihajar Alvin gue kalo khilaf ma emaknya."
"Anak lo gimana?"
"Alvin setuju kalo kami nikah. Dia bahkan sering ledekin gue buat bawa maminya ke KUA."
"Nah itu…."
"Itu gimana?"
"Anak lo mendukung. Manfaatin. Bersatunya kalian enggak hanya bikin lo bahagia, tapi juga Alvin."
"Iya sih bro cuma enggak segampang itu. Lo tahu gak gue ketemu G disini. Pasti dia akan berusaha merebut Dian dari gue."
"Makanya lo pepet Dian. Halalin dia. Sebelum G bergerak lagi. Dia cinta mati sama Dian. Sekalinya suka sama cewek bucinnya luar biasa. Lo enggak rela bukan?"
Zico memukul meja saking emosinya mengingat G. Egi saja sampai kaget Zico memukul meja. Akibat ulah Zico semua pengunjung kafe melihat arah mereka dengan tatapan intimidasi.
"Sorry," cicit Zico seraya menyugar rambutnya.
"Nggak papa bro, mungkin lo terlalu semangat. Pertama-tama lo tunjukkan sama Dian kalo lo ada rasa sama dia. Tanya sama dia sudah makan apa belum."
"Gimana mau tanya. Dian yang siapin sarapan buat gue sebelum kerja."
"Nah itu Dian dah layani lo layaknya istri. Lo tinggal bereksperimen menunjukkan perasaan lo."
"Cuma bro masih ada yang mengganjal di hati gue," ucap Zico dengan suara pelan.
"Apa itu?"
"Gue takut alat vital gue enggak berfungsi semestinya. Soalnya malam itu G menganiayanya."
"Test drive gimana?"
"Jangan gila bro."
"Gue enggak gila. Gue serius." Mimik wajah Egi menunjukkan jika ia tak bercanda.
"Sama siapa mau test drive?"
"Sama siapa lagi kalo bukan Dian."
"Gilo lo bro."
"Pura-pura khilaf aja. Apakah adek lo bereaksi apa tidak. Cuma jangan ketika ada Alvin. Kena ceramah lo nanti sama dia."
"Caranya?" Tanya Zico bloon.
Egi tepuk jidat melihat kepolosan Zico. Bukankah seorang Arzico Aditia sudah berpengalaman dalam menaklukan wanita? Dian bukanlah wanita sembarangan yang bisa didekati. Dian adalah ibu dari anaknya. Caranya mendekatinya tak sama dengan wanita lainnya.
Egi memberikan Zico arahan. Pria itu manggut-manggut menyetujui ide Egi.