PROLOG
PROLOG
Dian membalikkan tubuh si pelaku penembakan Bara. Dian melepaskan topengnya. Dian berteriak histeris mengetahui si pria adalah asisten Latif. Dian mengepalkan tangannya kuat. Menahan tangis, berjanji akan membalas perlakuan Latif karena telah mencelakai Bara.
Alvin dan Herman berteriak histeris kala melihat Bara terluka parah. Alvin dengan cepat meminta bantuan ambulan untuk menyelamatkan Bara. Polisi segera datang ke lokasi kejadian. Mereka membawa Bara ke rumah sakit Harapan Indah. Darah Bara mengering di tangan Dian. Dengan tubuh menggigil dan gemetar ia menunggui Bara di depan ruang operasi.
Herman tumbang dan pingsan melihat kondisi Bara kritis. Dian meminta Alvin untuk menemani Herman. Takut jika sesuatu buruk menimpa Herman.
"Bagaimana keadaan Bara?" Tanya Zico ketika datang menghampiri Dian.
Dian menangis dan tak sadar memeluk Zico. Pria itu membeku dan kaget mendapatkan pelukan hangat dari Dian.
"Gue takut sesuatu terjadi sama Bara. Gue enggak bakal maafkan diri gue sendiri jika terjadi sesuatu sama Bara. Gue sayang dia Zi. Gue enggak mau sesuatu buruk menimpa dia. Dia baru saja ditinggalkan Dila lalu mendapatkan musibah ini."
"Ditinggalkan Dila?" Kening Zico berkerut mendengarkan cerita Dian.
"Dila pergi meninggalkan Bara demi keluarganya. Sepertinya Dila mendapatkan ancaman dari keluarganya sehingga dia meninggalkan Bara."
"Ya Tuhan kasihan Bara. Om Herman mana?"
"Beliau pingsan dan ada di ruang perawatan bersama Alvin. Apa Bara akan sembuh?"
"Insya Allah. Dokter akan melakukan yang terbaik. Jika peralatan disini kurang memadai kita akan bawa Bara ke Singapura untuk pengobatan yang lebih baik."
"Bagaimana dengan polisi dan wartawan?"
"Gue sudah meminta polisi untuk tutup mulut kasus penembakan ini. Gue juga sudah menyuap wartawan agar tidak memberitakan kejadian ini."
"Terima kasih telah membantu kami."
"Sudah seharusnya."
Dian mondar mandir di depan ruang operasi. Sudah enam jam operasi berlangsung namun belum ada tanda-tanda operasi akan usai. Dian bahkan sampai tertidur di pundak Zico.
Dokter keluar dari ruang operasi. Zico mau bangkit menanyai dokter. Sadar jika sang bos meminta keterangan dari mereka. Salah satu dokter mendekati Zico. Mereka sungkan mengganggu Dian yang terlelap tidur di bahu Zico.
"Bagaimana keadaan Bara dokter Veri?" Tanya Zico cemas.
"Kami sudah berhasil mengeluarkan peluru dalam kepala Pak Bara, namun...…."
"Namun apa?" Dian tiba-tiba terjaga.
"Namun Pak Bara kritis."
"Apa?" Dian dan Zico histeris.
"Apa dia masih ada harapan untuk hidup dokter?" Dian memelas dan bahkan menangis.
"Harapan itu ada meski hanya sepuluh persen."
"Sepuluh persen?" Lutut Dian lemas ketika mendengarnya.
"Meski sepuluh persen masih ada harapan," ucap Zico menenangkan Dian.
"Saya merekomendasikan Pak Bara dibawa ke Singapura. Ada dokter bedah syaraf yang ahli dalam pengobatan ini. Saya rasa lebih baik Pak Bara dibawa kesana. Banyak yang berhasil sembuh berobat dengan dokter Andrew. Beliau ahli bedah syaraf terkemuka di dunia. Jika kalian ingin mencoba harapan yang sepuluh persen itu, saya akan membuat surat pengantar ke dokter Andrew."
"Baik dokter. Saya akan diskusikan dengan papanya Bara. Jika beliau setuju kami akan membawa Bara ke Singapura."
"Baiklah kalau begitu. Pak Bara belum bisa ditemui. Kondisinya kritis."
~ Tiga Bulan Kemudian ~
Singapura
Dian sedang menunggui Bara di kamar perawatan. Pria itu masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Bara sudah tiga bulan koma, namun semenjak dibawa ke Singapura kondisi kesehatannya semakin hari semakin membaik. Dokter Andrew setiap hari mendatangi kamar perawatan Bara dan memberikan semangat untuk Dian dan Herman. Selama tiga bulan ini Alvin telah kembali sekolah di pesantren. Bocah itu tidak betah sekolah formal karena sudah terbiasa tinggal di lingkungan pesantren yang serba teratur.
Untung saja Alvin memiliki papi seorang sultan sehingga ia bisa bolak-balik Singapura sekali seminggu menemui Dian. Jumat malam mereka akan flight dari Bandung lalu kembali ke Indonesia minggu sore. Zico bahkan membeli jet pribadi, khusus untuk menjemput Alvin bolak balik Indonesia- Singapura.
Semenjak Bara dirawat di Singapura. Dian dan Herman tinggal di rumah Zico. Pria itu tak mengijinkan kedua menginap di hotel. Zico menjadikan Singapura sebagai base bisnisnya. Dulunya Zico memang menetap di Singapura bersama mantan istrinya dan mengontrol bisnisnya dari sana.
Tangan Bara bergerak. Dian meresponnya dengan memencet bel untuk memanggil perawat. Lima menit kemudian perawat datang.
"Can i help you, Miss?" Tanya perawat pada Dian.
( Ada yang bisa saya bantu nona).
"His hands move. I see it. Call a doctor." Dian menunjuk Bara yang masih terlelap tidur.
( Tangannya bergerak. Aku melihatnya. Panggilkan dokter ).
"Okay. I'll call Doctor Andrew, "
( Baiklah. Aku akan memanggil dokter Andrew ).
"Thank," ucap Dian pada perawat.
Setelah perawat pergi tangan Bara bergerak lagi bahkan gerakannya semakin kuat. Dian menangis haru akhirnya penantian mereka selama ini membuahkan hasil. Dian menggenggam erat tangan Bara. Lalu Bara membuka matanya. Air mata Dian tumpah hingga mengenai pipi Bara.
Dokter Andrew dan beberapa orang perawat datang.
"Dia bangun dokter," ucap Dian terharu melihat dokter Andrew.
"Baiklah aku akan memeriksanya," ucap dokter Andrew memeriksa Bara.
Dokter Andrew memeriksa Bara dengan seksama. Dokter itu tersenyum manis kala selesai memeriksa Bara.
"Ma...," panggil Bara lirih dengan tatapan kosong.
"Bos,…..Ini aku." Dian terlalu bersemangat.
"Si-siapa kamu," ucap Bara memandang Dian dengan tatapan hampa.
"Bos..." Dian tercebik dan histeris Bara tak mengenalnya.
"Dokter apa yang terjadi?��� Dian menangis tersedu- sedu karena Bara tidak mengingatnya.
Dokter Andrew melakukan serangkaian tes untuk menguji daya ingat Bara. Semua pertanyaan yang diajukan tak ada yang bisa dijawab. Bara hanya mengingat mamanya. Ditanya siapa ayahnya juga tak bisa menjawab. Dia seperti orang linglung yang kehilangan arah.
Dokter Andrew mengajak Dian pergi ke ruangannya.
"Apa yang sebenarnya terjadi dokter?" Dian tak dapat menutupi kesedihannya.
"Ada trauma di kepala Bara hingga memori di otaknya terhapus," ucap dokter Andrew memberikan keterangan.
"Apa?" Dian menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Itu yang terjadi Dian. Ini lebih cepat dari perkiraan saya. Saya memperkirakan Bara akan sadar dalam waktu enam bulan. Ternyata dia sadar lebih cepat. Perkembangannya sangat bagus dari sisi medis. Jangan pernah memaksa dia untuk mengingat siapa dirinya. Jika tidak dia akan mengalami trauma. Kita harus mengobati Bara dengan perlahan-lahan. Tidak bisa memaksakan dia untuk segera ingat."
"Baik dokter aku mengerti." Dian tertunduk lesu. Dia sedikit lega karena Bara akhirnya sadar setelah koma selama tiga bulan. Untung saja dia dibawa ke dokter yang tepat. Harapan hidup yang sepuluh persen bisa membuatnya kembali hidup.