Jodoh Tak Pernah Salah

Part 363 ~ Penyesalan Dian ( 1 )



Part 363 ~ Penyesalan Dian ( 1 )

Dian tersenyum getir merasa kecewa dan marah pada dirinya. Karena ulahnya sang anak marah dan kecewa. Alvin benar jika dia tidak bisa berdamai dengan masa lalu sama saja Dian menyesali kelahiran Alvin.     

Dada Dian terasa sesak, napasnya tak beraturan seperti dicekik. Dian hening memandang Bara diantara air mata. Berusaha mengabaikan ucapan Alvin tapi sakitnya semakin terasa.     

Sakitnya menjalar ke pembuluh darahnya.     

"Kau dengar apa yang diucapkan Alvin? Sampai kapan kita harus hidup memupuk rasa dendam? Tidak pernah membuat kita bahagia dan membuat kita tidak tenang. Apa kamu tidak puas telah menganiaya Zico sampai dia di operasi? Sekarang kamu bahkan membayar penembak jitu untuk membunuhnya. Sekarang kamu bayar orang untuk menculik Zico. Kamu akan membunuh dia dengan tanganmu sendiri. Kenapa kau begitu kejam Dian?" Bara menatap Dian dengan perasaan kecewa. Mengalihkan pandangan pada ketiga penculik Zico. Mereka membuang muka ketika Bara menatapnya.     

"Aku tahu apa yang kamu rasakan. Perbuatan Zico sangat tidak manusiawi. Tapi Zico pantas mendapatkan kesempatan kedua. Korban terbesar dari peristiwa itu sudah memaafkannya. Untung saja Alvin anak sholeh. Dia menyadari jika kelahiran sudah jadi ketetapan Tuhan." Bara bicara dari hati ke hati pada Dian bak seorang kakak menasehati adiknya.     

Dian menyeka air matanya. Berusaha tegar seolah tak mau menunjukkan kelemahannya.     

"Tuhan saja aha Maha Pengampun. Kenapa kita jadi seorang hamba begitu sombong dan tidak bisa memaafkan seseorang? Aku pun korban dari peristiwa itu. Peristiwa itu sudah lama berlalu. Memang kita tidak mendapatkan keadilan saat itu namun kita harus bisa menerima kenyataan. Urusan balas membalas biarkan tangan Tuhan yang bekerja. Penerimaan kamu pada Alvin berarti kamu sudah bisa melupakan bagaimana alvin tercipta. Aku tidak menyangka Dian kamu bisa sejauh ini." Bara bicara dengan tenang seolah tak ada kejadian apa-apa.     

"Percuma saja marah tak akan bisa mengubah apa pun. Tak ada yang lebih membahagiakan kedua orang tua ketika memiliki anak yang sholeh seperti anakmu. Alvin pun telah menerima takdirnya dengan lapang dada. Kenapa kamu tidak bisa berdamai dengan masa lalu? Bukankah kamu telah melampiaskan kekesalan dan kebencian kamu pada Zico? Apakah yang kemarin belum cukup. Kamu bahkan lebih jahat dari Zico. Kamu melampiaskan kebencianmu sejak Alvin ada dalam kandunganmu. Kamu menzolimi anakmu sendiri. Harusnya kamu malu, Alvin saja yang masih remaja bisa memaafkan semua perbuatan kamu. Dia terima kamu apa adanya. Padahal dulunya kamu tak pernah menganggap dia ada. Alvin tak pernah dapat keadilan. Kamu masih saja berkutat dengan masa lalu, bahkan kamu sudah tidak punya hati. Kamu sudah dibutakan oleh dendam sehingga kamu mati rasa. Apa yang aku katakan tidak kamu dengar."     

"Sayang lebih baik kita pergi dari sini. Biarkan Dian berpikir apa kesalahannya. Kita harus menyusul Alvin, aku takut anak itu pergi ke mana-mana dan kabur," ucap Dila mengingatkan Bara.     

Pasangan suami-istri itu meninggalkan Dian dan Jimmy.     

"Kenapa lo begitu bodoh Dian?" Jimmy menyesalkan perbuatan Dian.     

Jimmy mengguncang tubuh Dian yang membeku. Tatapan mata Dian kosong tak jelas melihat ke arah mana. Dian seperti berada di dimensi lain. Terngiang ucapan Alvin yang bak mata pedang. Sakit tapi tak berdarah.     

"Lo jangan diam saja Dian. Ingat peringatan Alvin. Jika lo enggak bisa nemuin ayahnya, dia enggak bakal anggap lo ibunya lagi. Alvin memilih tinggal bersama neneknya daripada lo. Apa lo mau kehilangan anak? Dian anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Apakah lo ingin kehilangan anak seberharga Alvin? Jika lo memang seorang ibu pasti akan mendengarkan apa kata anak lo." Jimmy menasehati.     

Dian meratapi nasibnya. Sang anak telah membencinya. Balas dendam yang ia lakukan telah menjadi bumerang untuknya. Bukan menyelesaikan masalah namun menambah masalah baru. Alvin memberikannya ultimatum jika tidak bisa menyelamatkan sang ayah maka, Alvin tidak mau bertemu Dian.     

Dian menatap lurus pintu yang ada di depannya dengan tatapan kosong dan hampa. Hatinya mencair. Batu es itu telah mencair. Menyadari jika apa yang dilakukannya salah. Penyesalan selalu datang belakangan. Dian tidak tahu Zico berada di tangan siapa. Melihat bagaimana cara penculikan Zico, dia yakin jika pria itu berada di tangan orang kejam dan sadis. Dian menduga penculik baru akan melakukan pembunuhan pada Zico.     

"Pergilah kalian dari sini. Urusan kita sudah selesai kita. Kalian akan mendapatkan bayaran kalian. Aku akan transfer besok pagi." Titah Dian pada ketiga anak buahnya.     

Ketiga pria itu meninggalkan Dian dan Jimmy.     

Pertahanan Dian runtuh, tubuhnya melorot ke lantai. Dian kembali menangis dalam penyesalan. Akibat perbuatannya semuanya telah hancur berantakan. Dian mendapatkan kebencian dari Bara dan Alvin.     

"Apa yang harus gue lakukan Jim? Otak gua enggak bisa mikir lagi?" Tanya Dian memukul dadanya.     

"Hanya satu yang bisa kita lakukan. Cari tahu di mana Zico dan selamatkan dia. Gue yakin nyawa pria itu berada di dalam bahaya."     

"Kemana kita cari dia? Gue nggak tahu siapa yang menculik dia."     

"Apa lo tidak ingat sesuatu?" Jimmy memicingkan mata sambil mikir.     

"Apa yang harus gue ingat?"     

"Semuanya. Baik Zico dan musuhnya. Siapa yang ingin melenyapkan Zico."     

Dian menangis pilu tak mengingat apa pun.     

'Zico dan musuhnya.' Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya. Dian mencoba merenung. Dalam satu sentakan ia kaget. Dian mengingat sesuatu. Pertemuan terakhir dengan G sempat membahas Zico. Dian teringat percakapannya dengan G.     

"Sayang aku tahu kalau Zico adalah orang yang telah memperkosa kamu. Apakah kamu ingin aku memberikan pelajaran padanya? Aku tidak ingin kamu mengotori tanganmu dengan darah bajingan itu. Biarkan tanganmu tetap bersih. Biarkan tanganku saja yang kotor."     

"Aku benar-benar muak kamu memanggilku sayang. Telingaku gatal mendengarnya. Aku peringatkan kau. Jangan pernah ikut campur urusanku. Urus saja urusanmu. Jangan sok jadi pahlawan di depanku." Dian menggeram kesal sembari mengepalkan tangan.     

"Jimmy gue ingat sesuatu," ucap Dian histeris.     

"G. Hanya G yang bisa melakukan semua ini. Aku ingat jika G dan Zico rival. Mereka selalu bersaing dan saling menjatuhkan."     

"Sebaiknya kita pergi dari sini. Kita cari G."     

"Dia menginap di hotel. Mari kita kesana."     

"Gue enggak yakin dia ada disana."     

"Kenapa?"     

"Jika dia menculik Zico pasti dia tidak ada di hotel. Apa lo punya nomor G?"     

"Tentu saja gue punya."     

"Kita pergi dari sini. Gue minta bantuan teman gue untuk melacak keberadaan G."     

Dian dan Jimmy meninggalkan tempat itu. Mereka berkejaran dengan waktu. Mereka harus menemukan G dan memastikan sesuatu. Dian sangat yakin jika G yang menggagalkan rencananya. Hanya G yang bisa melakukan itu. G sudah terlanjur lempar omongan pada Dian.     

Mereka berdua telah sampai di rumah teman Jimmy. Dian diminta menghubungi nomor G. Tersambung namun tak diangkat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.