Part 231 ~ Ancaman Pembunuhan
Part 231 ~ Ancaman Pembunuhan
Bara teringat dengan Dian yang sudah sebulan cuti kerja. Awalnya Dian minta cuti selama dua minggu tapi memperpanjang cutinya hingga dua minggu ke depan. Bara menghubungi Dian di dalam mobil. Ia sengaja menghidupkan speaker agar bisa fokus mengemudi.
"Aku telepon Dian ya Dil." Bara meminta ijin sang istri.
"Silakan Bara."
"Selamat pagi bos." Dian menjawab telepon Bara
"Tumben ramah sekali. Kayak pegawai bank saja pakai ucapan selamat pagi." Bara mencibirkan bibirnya
"Ramah salah, ketus juga salah. Bos bikin aku naik darah aja."
"Bukannya selama ini aku memang suka bikin kamu naik darah?"
"Sekarang bos udah insaf enggak kayak dulu lagi. Jadi beda aja."
"Kapan kamu kembali bekerja Dian?"
"Minggu depan aku kembali bos."
"Kenapa lama sekali? Apakah kamu sudah mendapatkan si bajingan itu?"
"Belum bos. Si brengsek itu menipuku. Dia ada di rumah sakit waktu Dila dirawat. Aku melihatnya ketika berbincang dengan Egi dan Clara. Mataku belum rabun untuk tahu jika itu dia. Bajingan itu sudah kembali bos. Aku penasaran apa motif si bajingan itu kembali. Kenapa dia kembali ke Indonesia? Apa dia kembali untuk aku habisi bos?"
"Jangan terlalu dipikirkan Dian. Kenapa kamu lama kembali? Ini sudah satu bulan Dian. Aku kesulitan bekerja dengan Rivo. Dia tidak secakap kamu dalam bekerja."
"Apa bos takut tergoda dengan Rivo makanya tidak nyaman bekerja dengannya?" Dian balik menggoda Dian.
"Dian jaga bicara kamu."
"Hanya bercanda bos. Baper banget jadi orang."
"Kenapa kamu lama kembali?" Bara mengulangi pertanyaannya.
"Aku menyelesaikan masalahku dengan Alvin."
"Maksudnya?"
"Aku telah membuat kesalahan bos. Menjahati Alvin selama ini. Anak itu mengalami depresi dan gangguan anti sosial. Selama ini dia pura- pura menjadi anak baik dan penurut. Alvin sering memukuli temannya dan bahkan memalsukan nilai akademisnya."
"Kok bisa?"
"Kami tahunya dia anak baik dan berprestasi ternyata dia menipu kami selama ini. Alasannya dia melakukan selama ini karena sikapku yang buruk dan membencinya."
"Gimana ceritanya bisa tahu Alvin seperti itu."
"Fatih melakukan terapi pada Alvin."
"Fatih?" Kening Bara berkerut.
"Fatih dari Mesir?"
"Iya."
Dila memasang kupingnya lebar-lebar ketika mendengar nama Fatih. Hatinya masih bergetar jika mendengar nama Fatih.
"Kok bisa?" Bara melanjutkan pertanyaannya.
"Fatih diminta pesantren untuk melakukan terapi psikologi pada anak pesantren. Dia juga memberikan kajian disana." Dian mulai bercerita tentang pertemuan Alvin dan Fatih.
Bara dan Dila membuka kupingnya lebar-lebar. Mendengarkan cerita demi cerita yang keliar dari mulut Dian.
"Aku mengakui pada Alvin jika aku adalah ibunya," kata Dian diujung cerita.
Bara mengerem mendadak, tak menyangka Dian berani mengaku pada Alvin jika ia wanita yang telah melahirkan Alvin.
"Dian aku benar-benar tak menduga. Akhirnya kamu mengakui Alvin sebagai anak kamu. Aku terharu Dian. Tidak baik jika Alvin jadi pelampiasan kebencian kamu selama ini."
"Salahkan wajahnya mirip bajingan itu."
"Alvin tak pernah meminta dilahirkan dan meminta wajahnya seperti bajingan itu Dian. Apa reaksi anak itu ketika kamu mengaku sebagai ibu kandungnya."
"Anak itu telah menduganya bos. Dia sadar jika dia bukan anak Ayah dan Ibu. Dia terinpirasi dari film jika makanya dia berpikir jika aku adalah ibunya. Alvin hanya menunggu pengakuanku saja. Dia menerimaku bos sebagai mamanya. Dia memahami kenapa aku membencinya. Dia paham jika dia anak yang terlahir dari pemerkosaan."
"Anak yang hebat. Berterima kasihlah padaku karena aku dulu meminta kamu mempertahkan dia dalam kandunganmu."
"Terima kasih bos," balas Dian terpaksa, tak mau membuat Bara mengambek.
"Cepatlah kembali. Aku membutuhkan kamu. Egi datang ke Padang dan dia akan membuat perhitungan denganku. Jika masalah Egi kamu akan mengatasinya dengan baik."
"Aku akan kembali besok bos," jawab Dian cepat.
"Okay. Abi akan menjemput kamu di bandara," kata Bara sebelum menutup teleponnya.
"Bara, jadi Dian sudah memiliki anak?" Dila bertanya dengan hati-hati. Tak menyangka jika Dian memiliki masalah yang pelik.
"Benar. Namanya Alvin umur empat belas tahun. Dia datang ke dunia ini karena si bajingan itu memperkosa Dian. Usia enam belas tahun Dian sudah menjadi seorang Ibu. Andai Dian tak menolongku waktu itu mungkin kejadian naas itu tidak akan menimpanya. Aku merasa bersalah padanya Dila. Seumur hidup aku bersalah. Kesalahanku membuat orang lain menanggungnya. Aku menyesal Dila makanya aku sangat melindungi Dian. Aku berhutang budi padanya."
Dila mengelus lengan sang suami memberikan kekuatan, "Tindakan kamu sudah benar. Kalian harus bangkit dari masa lalu yang buruk. Tindakan Dian yang telah mengakui Alvin pantas diacungi jempol. Usianya baru tiga puluh tahun tapi sudha memiliki anak yang berusia empat belas tahun. Mereka terlihat seperti kakak adik bukan ibu dan anak."
Bara dan Dila sudah sampai di kantor capem cabang utama. Dila buru-buru masuk ke dalam menemui Renata.
"Maaf Re gue telat," kata Dila berjalan ke ruangan klus diikuti Renata.
Dila memasukkan kuncinya, lalu meminta kunci Renata. Dengan cepat Dila memutar kombinasi angka sandi klus. Dila memutar pintu klus, mengambil keranjang dan mengambil uang untuk teller. Dila sengaja mengambil uang untuk mempermudah kerja Renata.
"Bagaimana keadaan Vinta?"
"Apa dia baik-baik saja?"
"Insya Allah."
"Vinta sengaja dicelakai Dila. Dia sengaja ditabrak untuk menghilangkan bukti dan mengulur waktu kita untuk melaporkan fraud bang Ad." Renata bicara dengan histeris.
"Re tolong pelankan suara lo. Ingat ini MBC, dinding bertelinga. Jika ada yang mendengarnya akan terjadi kehebohan besar di MBC."
"Gue takut Vinta kenapa-napa Dila." Renata menangis. Kedekatannya dengan Vinta yang bak saudara membuatnya memiliki ikatan batin yang kuat.
"Gue juga khawatir sama dia."
"Gue takut mereka melakukan sesuatu di rumah sakit pada Vinta. Siapa yang menjaga Vinta disana?"
"Tenanglah Re. Tidak usah histeris. Polisi sudah berjaga-jaga. Mereka akan melindungi Vinta selama dua puluh empat jam."
"Dil gue bongkar meja Vinta dan menemukan bukti penyelidikan Vinta. Kredit nasabah sebesar sepuluh milyar yang macet itu kreditnya fiktif. Kreditnya macet setelah enam bulan pencairan. Usahanya tidak pernah ada, agunannya juga palsu. Foto-foto usaha dan agunan itu milik orang lain. Semuanya palsu. Adrian AOnya dan ini melibatkan wakil pemimpin capem dan pemimpin capem saat itu. Mereka berkomplot memberikan kredit fiktif. Wakil dan kepala capem saat ini telah menjadi salah satu direksi bank MBC pusat."
Dila bak disambar petir di siang bolong. Mengungkapkan fraud yang dilakukan Adrian tidak mudah. Melibatkan pejabat-pejabat penting di bank MBC. Jika Dila nekat mengungkap fakta ini maka keselamatan dan kariernya akan terancam. Dia hanya pemimin capem tak mungkin menang melawan seorang direksi.