Part 207 ~ Kejadian Memilukan ( 2 )
Part 207 ~ Kejadian Memilukan ( 2 )
"Jangan memerintahku bocah!" bentaknya meremas wajahku.
"Jika tidak mau dibentak lepaskan kami atau cerita!" Aku membusungkan dada menantangnya.
"Bocah berani juga kamu," Dia menggeplak kepalaku seraya melepaskan ikatan di tangan dan kakiku.
"Jangan panggil aku bocah," balasku mendorong tubuhnya hingga terhuyung.
"Berani sekali kamu."
"Tentu aku berani karena kamu telah jahat padaku."
"Tidak penasaran kenapa aku menculik kalian?"
"Cepat katakan sebelum kesabaranku habis."
"Harusnya aku yang mengatakannya bocah." Dia menjambak rambutku hingga aku berteriak kesakitan. Dia laki-laki atau bukan sich? Kenapa kasar sama wanita. Aku ini cewek bukan bencong yang harus dikasari? Hikssss...hikssss…
"Le-lepaskan dia." Bara mengumpulkan kekuatan untuk bicara dengan lantang.
"Dia," laki-laki itu menunjuk Bara. "Dia telah membunuh adikku."
"Enggak mungkin. Kak Bara orang baik mana mungkin bunuh orang. Jangankan bunuh orang. Bunuh tikus saja dia tidak berani." Aku membantah pernyataan laki-laki itu. Seenaknya saja mengatakan kak Bara pembunuh.
"Dia yang telah membunuh adikku Sisil. Tanya saja sama dia."
"Benar itu kak?" Aku bermandikan air mata bertanya pada kak Bara. Dia menjawab dengan anggukan kepala. Aku tidak percaya jika kak Bara melakukannya. Dia sangat baik dan juga lembut. Kak Bara mungkin hanya usil dan iseng.
"Dia penyebab adikku meninggal. Adikku bunuh diri karena dia mempermalukan adikku di kampus. Dia menyebarkan surat cinta yang di tulis adikku untuk dia. Adikku menyukai dia tapi dia mengolok-olok adikku. Sisil jadi bahan gunjingan di kampus dan dipandang sebelah mata karena dianggap murahan nembak cowok duluan. Adikku tertekan dan dia bunuh diri. Seharusnya dia tidak menyebarkan surat itu. Gara-gara dia aku harus kehilangan adikku."
Aku menahan napas tak percaya dengan apa yang aku dengar. Kak Bara memang keterlaluan kali ini tapi tak seharusnya pria ini juga melakukan hal yang sama pada kami. Aku menatap matanya, kulihat ada keputus asaan dan kehilangan disana.
"Jika kamu menculik kami dan memukul kak Bara seperti itu bukankah kamu sama saja dengan pembunuh?" Kataku bicara dengan lembut dan pelan. Aku ingin mengambil simpatinya agar melepaskan kami.
"Dia pantas mendapatkannya. Nyawa harus dibayar dengan nyawa," jawabnya tegas menyiratkan kemarahan dan emosi yang memuncak. Wajahnya berubah gelap dan dingin. Aku takut melihat wajahnya lebih seram daripada pocong dan kuntilanak yang biasa aku tonton di televisi.
"Jika dia membunuh adikku bagaimana jika aku juga membunuh wanita yang kau anggap adik?" Seringainya menatap Bara.
Aku mundur takut dengan ancamannya. Dia akan membalas dendam atas kematian adiknya. Dia menukar nyawa adiknya dengan nyawaku. Tidak! Aku tidak mau mati. Aku terus mundur menjauhinya. Dia malah mendekatiku. Aku meliihat kak Bara meronta-ronta agar dia melepaskan aku dan tak menjadikan aku alat barter.
"Jangan lakukan pada Dian. Bunuh saja aku jangan dia," pinta Bara meronta-ronta sampai memuntahkan darah.
"Kalian seret dia kesini! Titahnya menyuruh anak buahnya membawa kak Bara ke hadapannya.
Anak buah laki-laki itu melempar kak Bara hingga terjatuh mencium kakinya.
"Kalian pergi dari sini. Apa pun yang kalian dengar nanti. Teriakan bahkan tangisan abaikan saja. Masuk jika sudah aku perintahkan. Kunci pintu dari luar dan jaga tempat ini. Jangan sampai ada yang datang kesini!" Titah laki-laki itu pada anak buahnya.
"Aku mohon jangan libatkan Dian dengan masalah kita. Aku tahu aku salah. Aku tidak menyangka keisenganku akan menyebabkan Sisil bunuh diri. Aku menyesal untuk itu. Aku akui jika aku sangat nakal." Pertama kalinya aku melihat kak Bara menangis. Nasib kami benar-benar memilukan. Kami terjebak bersama monster ini.
Dia menendang wajah kak Bara hingga tersungkur ke belakang. Aku memekik kaget melihat dia menganiaya kak Bara. Benar-benar tidak punya hati dan rasa kemanusiaan. Udah tahu kak Bara babak belur bersimbah darah bahkan muntah darah masih saja menganiaya. Hatiku teriris sembilu melihat kondisi kak Bara. Kenapa dia kejam sekali? Hikssss...hikssssss.
"Baiklah kamu tidak mau aku membunuh dia bukan, tapi aku punya kado yang lebih indah dari pada membunuh dia," katanya dengan suara bariton. Dia bahkan tertawa terbahak bahak.
Aku merasa dia sedang memvonis sesuatu. Memvonis keadaan yang tengah kami hadapi. Aku ingin kabur dari sini tapi tidak bisa pergi seorang diri. Aku harus menyelamatkan kak Bara. Nanti apa yang aku katakan pada bapak dan ibuk jika menanyakan kak Bara. Aku biasa memanggil papa dan mama kak Bara, ayah dan ibuk.
Dia kembali mendekati kak Bara. Dia mengikatnya pada sebuah kursi. Dia menatapku dengan tatapan yang mengerikan. Hidungnya seperti mengendus sesuatu. Entahlah aku tidak tahu apa yang dia endus.
"Kamu lihat dia?" Katanya bicara dengan kak Bara. "Aku tidak akan membunuhnya seperti permintaanmu, tapi aku akan menghancurkan hidupnya sehingga kamu menyesal telah melibatkan dia dalam masalah kita. Aku akan buat kamu menanggung rasa bersalah seumur hidup."
Ucapannya bak petir bagiku. Kakiku lemah dan tak bisa menopong tubuhku. Aku roboh mendengar pernyataannya. Jika aku tidak bodoh, dia akan menghancurkan hidupku. Kehidupan wanita akan hancur jika...…..Tidak…..itu tak boleh terjadi.
Aku kumpulkan seluruh tenagaku. Mencoba bangkit. Aku harus pergi dari sini. Maafkan aku kak Bara tidak bisa menyelamatkan kamu. Aku harus selamatkan diriku dulu. Aku mencoba egois demi masa depanku sendiri. Aku kabur dari sana.
"Lari Dian… lari," kata kak Bara seolah memberikan aku restu untuk kabur. "Larilah Dian. Jangan pedulikan aku."
"Mau kemana kamu?" Dia berteriak lantang mengejarku.
Aku mempercepat lariku hingga dia tak bisa menjangkauku. Ketika aku sampai di pintu aku tak bisa membukanya karena kuncinya dipintu dari luar. Aku mengetuk pintu dengan keras berharap seseorang mendengarnya dan membukakan pintu. Keringat dingin bercucuran dari tubuhku. Tubuhku menggigil dan gemetar. Dia bagaikan mimpi buruk bagiku. Tak akan aku biarkan dia menghancurkan hidupku.
Aku semakin panik, dia semakin mendekat. Aku menangis dalam ketakutan. Satu pintaku pada Tuhan untuk mengirimkan malaikatnya untuk menolong kami. Aku tak pernah menyangka berada dalam situasi ini. Aku menggigil ketakutan, aku lebih memilih mati dari pada dia melakukannya padaku.
Aku berusaha menendang pintu, aku tahu ini tidak akan bisa membuka pintu setidaknya aku telah berusaha menarik perhatian orang-orang diluar sana.
"Mau kemana kamu?" Tanyanya penuh penekanan dan intimidasi.
Dia menggendongku bak menggendong beras. Aku memukul-mukul punggungnya agar melepaskan aku.
"Lepaskan aku. Biarkan aku pergi. Bukankah kamu punya adik perempuan? Jika adikmu di perlakukan seperti ini bagaimana perasaanmu?" Kataku memantik rasa kemanusiaannya.
"Adikku telah mati karena perbuatan kakak Baramu. Perasaanku telah mati semenjak dia membunuh adikku. Jika kamu meminta belas kasihan padaku percuma. Aku tidak punya belas kasihan," ucapnya kejam tanpa berkedip.
Dia membawaku kembali ke tempat kak Bara disekap. Dia menurunkan aku dari bahunya.
"Kau liat apa yang akan aku lakukan padanya," ucapnya dengan seringai iblis.
Dia mencengkram tubuhku. Dengan satu sentakan dia menarik kemejaku hingga kancingnya lepas.
"Jangan!"Teriak kak Bara histeris.