Part 371 ~ Harapan Lona
Part 371 ~ Harapan Lona
"Ya," jawab Dian tanpa keraguan.
"Bagaimana dengan Bara?"
"Tanyakan saja pada Bara. Ngapain lo tanya sama gue? Dia dan gue beda pikiran."
"Udah jangan ketus. Biasa aja ngomongnya." Zico tergelak tawa.
"Siapa bilang gue ketus? Gue Ngomong biasa aja." Dian mengelak. Membuang muka karena malu.
"Dan gue bukan anak kecil yang enggak bisa membedakan intonasi bicara kamu. Makasih sudah memaafkan aku."
"Gue tegaskan sekali lagi sama lo. Gue lakuka demi Alvin bukan demi lo."
"Terima kasih telah membesarkan Alvin. Gue bangga punya anak kayak Alvin. Kamu mendidiknya dengan benar. Dia telah menjadi penghubung silaturahmi diantara kita .Jika Alvin tidak ada, sampai sekarang kita masih bermusuhan atau lo udah bunuh gue."
"Sudahlah. Tidak usah membahasnya lagi. Sudah masa lalu. Kita hidup di masa depan bukan di masa lalu. Kita saling memaafkan saja demi Alvin, anak kita."
Anak kita? Ada setitik keharuan di dalam sanubari Zico ketika Dian menyebut Alvin 'anak kita'.
"Papi, mami aku datang," ucap Alvin bahagia. Dia membeli sekantong kerupuk. Anak itu tidak bisa makan jika tidak ada kerupuk. Alvin sangat menyukai kerupuk dari kecil.
"Papi mau makan?" Alvin menawari sang ayah.
Zico menggeleng, "Tidak. Kamu aja yang makan. Papi tunggu dari rumah sakit saja, takutnya lambung papi belum bisa mencerna dengan baik jika makan makanan biasa."
Tak ada lagi berbicara di antara Dian dan Zico. Mereka hening memperhatikan Alvin makan. Tak lama kemudian Lona pun datang. Ia memeluk Zico dengan bahagia.
"Zi, akhirnya kamu sadar juga. Mami senang dengarnya." Lona menangis karena terharu. Perempuan paruh baya itu sempat frustasi dan kehilangan harapan karena Zico sudah tak sadarkan diri selama tiga bulan. Banyak hal yang telah terjadi selama tiga bulan. Lona mengambil hikmah dari komanya Zico.
Karena Zico koma Lona bisa menjalin komunikasi yang baik dengan Dian, wanita yang telah melahirkan cucunya itu telah memberinya maaf. Mereka bisa berteman dengan akrab.
Lona berharap setelah semua ini terlewati hubungan Dian dan Zico bisa lebih baik untuk kedepannya. Jika perlu mereka berdua menikah. Dari awal Lona ingin mereka berjodoh dan menikah demi cucunya. Lona tak tega melihat kesedihan dan tangisan di mata Alvin.
Sebagai seorang nenek, Lona akan melakukan apapun untuk membahagiakan Alvin. Tak ada yang lebih membahagiakan Lona ketika membuat Alvin tersenyum.
Dian mendapatkan telepon dari Bara.
"Ya bos. Aku lagi di rumah sakit menunggu Zico. Apa ada masalah?" Dian menjauh dari Zico dan Lona agar pembicaraannya tidak terdengar.
"Resort Mentawai bagaimana? Bukankah minggu depan kita akan launching?"
"Benar bos. Kita akan launching minggu depan bos. Aku lupa mengatakannya jika Zico sudah sadar." Dian berbalik menatap Zico yang sedang mengobrol dengan Lona.
"Apa? Zico sudah sadar?" Bara tersenyum sekaligus bahagia. Bukannya apa-apa, dia terlalu kasihan melihat Alvin. Kondisi psikis anak itu terganggu semenjak ayahnya koma. Alvin tak mau banyak bicara dan lebih banyak diam.
"Syukurlah. Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia sudah bisa bicara dengan lancar dan tidak ada gangguan kronis pada tubuhnya."
"Syukurlah kalau begitu. Aku dan Dian akan menengoknya pulang kerja."
"Tidak perlu bos." Dian mencegah.
"Kenapa kamu larang aku? Kamu seperti istrinya Zico saja," kata Bara menyindir.
"Aku bukan melarang bos, tapi dia baru sadar. Butuh istirahat."
"Walaupun kamu larang, aku akan tetap datang," ucap Bara mentertawai Dian.
"Terserah bos saja."
Bara tak dapat menyembunyikan tawanya. Benar-benar lucu. Ternyata Dian sangat perhatian dengan Zico dan mulai dekat. Dian tak pernah melewatkan satu hari pun untuk menjaga Zico. Setiap hari menjaga Zico di rumah sakit.
"Apa kata dokter soal kondisi kamu?" Tanya Lona duduk di sebelah Zico.
"Kata dokter Anwar sudah mengalami perkembangan signifikan. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Bagaimana dengan alat vital kamu?" Tanya Lona berbisik di telinga Zico.
"Mami," cebik Zico kesal. Masa pertanyaan sensitif seperti itu Lona tanyakan di depan Dian dan Alvin. Memang berbisik namun bisa saja mereka mendengarnya.
"Maaf Zi. Mami lupa." Lona tertawa seraya menutup mulut yang lancang.
"Kamu bisa mengingat semuanya Zi?"
"Bisa mi. Aku enggak hilang ingatan. Jika aku hilang ingatan mungkin udah lupa sama mami," jawab Zico diplomatis.
"Mami udah hubungin Siska. Katanya dia bakal datang dua hari lagi ke sini lihat kamu. Dia datang bersama suaminya dan Aidan."
"Tolong perlakukan Aidan dengan baik ketika dia datang." Zico mengingatkan Lona.
"Mami sudah jadi orang baik sekarang. Mami udah menerima Aidan sebagai cucu mami. Sisca sudah pernah datang kesini dua bulan yang lalu ketika kamu masih koma. Namun mereka kembali pulang ke Ausie gara-gara kamu nggak menunjukkan perkembangan apa-apa. Suami Sisca kan kerja.���
"Syukurlah. Banyak yang berubah mi. Semuanya saling memaafkan dan melupakan masa lalu. Aku jadi terharu mi."
"Mami juga," kata Lona dengan raut wajah bahagia.
"Kamu tahu enggak Zi selama tiga bulan ini. Dian udah jaga kamu dengan baik. Dian lebih banyak jaga kamu daripada mami. Semenjak kamu koma mami mengambil alih semua bisnis kamu. Rumah Sakit, properti dan semuanya. Tau nggak Zi, pusing ternyata ngurusin bisnis. Selama ini mami hanya terima duit dari kamu. Ternyata susah berbisnis."
"Jadi sekarang mami udah sadar? Cari duit itu nggak gampang." Zico mentertawai Lona.
"Pantas saja kamu sering marah dan bisa mecahin barang. Stress mengurus perusahan. Untung saja ada Fahmi yang bantu. Kamu enggak kepala mami bisa pecah."
"Jangan sampai pecah kepalanya tante." Dian menimpali.
"Berapa kali tante bilang Dian? Panggil mami bukan tante."
"Maaf aku belum terbiasa tante. Aku bukan menantunya tante. Jadi aku nggak bisa panggil tante, mami," ucap Dian membuat Lona dan Zico tertohok.
Entah kenapa ucapan Dian barusan seolah memberikan sinyal. Zico tersenyum manis melihat Dian. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa sayang tulus pada wanita yang telah melahirkan anaknya.
Zico telah mendapat maaf dari Dian. Hati Zico terenyuh. Pria itu berfikir bagaimana jika suatu hari menikah dengan Dian. Zico membuang jauh pikirannya. Tidak mungkin Dian bersedia menikah dengannya. Perempuan itu memaafkannya hanya demi anak. Jika anak mereka tidak ada mungkin sampai sekarang Zico belum mendapatkan maaf.
Lona dan Dian pergi ke kantin untuk makan. Mereka meninggalkan Alvin dan Ziko berdua, seolah memberikan waktu keduanya bicara lebih intim.
"Dian. Makasih telah memaafkan Zico. Mami tahu jika tidak mudah buat kamu memberikan Zico maaf," ucap Lona tulus memegang tangan Dian.
"Sudah seharusnya tante. Alvin telah menyadarkan aku, jika tidak baik memupuk rasa dendam. Dendam hanya akan membuat kita hidup menanggung beban dan tidak pernah mendapatkan kebahagiaan."
��Bolehkah mami egois Dian?"
"Maksudnya?"
"Mami malah berharap dengan membaiknya hubungan kalian. Kamu dan ZIco menikah demi Alvin."
Tubuh Dian bergetar hebat mendengar ucapan Lona. Pemikiran Lona sangat aneh. Mana mungkin dia menikah dengan Zico? Seorang pemerkosa menikahi korbannya dan lalu hidup bahagia. Bukankah itu hanya ada dalam novel? Dian hanya tersenyum miris menanggapi ucapan lona. Menikah dengan Zico tak pernah ada dalam pikirannya.