Jodoh Tak Pernah Salah

89. AKU INGIN PULANG



89. AKU INGIN PULANG

"Bar. Aku ingin pulang." Dila menangis terisak-isak. "Aku enggak mau tinggal disini Bae. Aku tidak mau." Dila menggeleng. "Jika kita terus disini mereka akan menganggap kita sudah meninggal. Aku tidak bisa jauh dari anak-anak."     

"Tenang Dila. Jangan panik. Kita akan kembali ke rumah." Bara menghibur Dila.     

"Aku tidak bisa membayangkan jika selamanya tinggal disini. Cari cara Bar agar kita bisa pergi dari tempat ini." Dila memohon di kaki Bara. "Aku tidak bisa membiarkan anak-anak jauh dariku. Mereka tidak bisa kehilangan ibunya." Dila histeris.     

"Tenanglah Dila. Kita akan pergi dari sini. Aku juga tidak ingin tinggal lama disini."     

"Apa kita bisa kembali?"     

"Tentu saja."     

"Kita akan kembali. Jangan takut." Bara membelai rambut Dila.     

Ada rasa haru menyergap Dila kala tangan pria itu menyentuh kepalanya. Dila seperti dejavu. Bara selalu melakukan hal ini ketika mereka masih bersama. Dila terbayang kisah masa lalu. Bagaimana perjuangannya agar Bara kembali ke kodrat. Menjauhkan Bara dari Egi. Tak mudah mengembalikan pria itu ke jalan kebenaran.     

"Jangan panik."     

"Bagaimana tidak panik Bar. Kita menjadi korban gempa dan tsunami. Bisa jadi keluarga kita menganggap kita hilang. Lalu kita dinyatakan meninggal dunia dan mayat kita tidak ditemukan. Gempanya sangat dashyat Bar. Aku yakin banyak korban berjatuhan."     

"Tenanglah. Jangan panik. Berpikir positif dan optimis. Kita akan kembali pada keluarga kita. Adaptasi, ketenangan, dan pemikiran jernih berperan dalam membantu kita melewati cobaan ini. Kita harus bermental positif."     

"Bar gimana bisa bermental positif jika kita terdampar di tempat ini. Nelayan tidak melaut kesini. Berarti pulang ini tidak berpenghuni."     

"Jangan panik."     

"Aku enggak bisa tenang Bar." Dila masih saja cemas tak bisa kembali.     

"Jangan cemas Dila. Berdoalah agar kita segera ditemukan. Ada Tuhan. Kita hanya berdoa dan memasrahkan diri. Kita tidak boleh putus asa. Bersyukurlah kita selamat. Tuhan memberikan kita kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga."     

"Kenapa kamu menyelamatkan aku? Bisa saja kamu pergi tinggalkan aku."     

"Aku tidak bisa?"     

"Kenapa tidak bisa?"     

"Ada empat orang anak yang merengek padamu. Selagi aku bisa dan mampu kenapa tidak? Melihat keceriaan anak-anak itu hilang tak tega. Hatiku tergerak saja untuk menolong kamu waktu itu."     

"Hanya itu?" Dila berharap Bara mengingatnya dan mengatakan 'Aku tidak ingin kehilangan wanita yang aku cintai'.     

[ Jangan berharap dia akan mengatakan itu. Sadar diri Dila. Kamu telah meninggalkan dia. Dia tak ingat dengan kamu sedikit pun. Jejakmu dihatinya telah terhapus ]     

"Kamu berharap aku mengatakan apa?" Bara mendelik menatap Dila.     

Dila gregetan. Buang muka untuk menetralkan perasaannya. Tidak akan ia biarkan Bara membaca isi hatinya.     

"Mau makan lagi?" Bara menawarkan beberapa buah langka. Dila tak pernah memakan buah itu sebelumnya. Ragu ketika Bara menyodorkan buah itu.     

"Buah ini aman. Tidak beracun. Aku dulu anak pecinta alam, jadi hidup di alam liar tidak terlalu menakutkan. Aku pastikan buah ini aman." Bara membuka kulit buah lalu memakannya di depan Dila. "Amankan?" Bara melengkungkan senyum.     

"Bar, aku haus."     

Bara mengambil buah kelapa yang telah ia susun di atas pasir. Ia pukul buah kelapa di atas batu karang hingga terbelah dua. Ia berikan air kepala pada Dila.     

"Minumlah. Air kelapa bagus untuk kesehatan."     

"Terima kasih." Dila meminum air kelapa yang Bara berikan. Dila meminumnya tergesa-hingga air kepala menetes ke lehernya.     

Bara menelan ludah kala melihat leher Dila. Jakunnya naik turun. Sebagai laki-laki normal melihat tetesan air membasahi leher Dila lalu turun ke dada. Sebagai laki-laki normal hasratnya terpancing. Tak pernah ia terangsang melihat perempuan seperti melihat Dila sekarang. Bara menjauhi Dila. Membuang pikiran kotornya. Meski mereka hanya tinggal berdua di pulau ini. Tak boleh memanfaatkan keadaan. Ketika ia bercanda bercinta perempuan itu marah besar, apalagi jika benar-benar menginginkannya. Nalurinya sebagai lelaki ketika berduaan dengan Dila. Magnet apa yang ada dalam diri wanita itu hingga ia tak bisa berpikir waras. Dila sudah punya suami dan memiliki empat orang anak. Pria macam apa ia memanfaatkan keadaan?     

Bara duduk di atas karang melihat hamparan lautan luas. Bersyukur Tuhan masih memberikannya umur panjang. Bukan ia saja yang selamat dari tsunami namun ia juga menyelamatkan Dila.     

"Apa mereka mengkhawatirkanku? Tuhan berikan kami jalan keluar dari tempat ini. Pasti berita tsunami ini sudah sampai ke Jakarta. Aku harap papa bisa tenang. Bagaimana nasib Tia dan Daniel? Apa mereka baik-baik saja?" Bara justru ingat pada kedua anak buahnya. Bara mencoba membuat api agar ketika ada pesawat atau helicopter bisa melihat dan menyelamatkan mereka.     

"Bar kenapa kamu duduk merenung disini?" Dila menghampiri Bara.     

"Enggak pengen duduk saja." Bara jawab ngasal. Melengkungkan senyum agar Dila tak melihat kegundahan hatinya.     

"Aku merindukan mereka." Dila duduk memeluk kakinya.     

"Siapa?"     

"Anak-anakku Bar."     

"Aku juga."     

Ada rasa sakit Dila rasakan ketika Bara juga mengingat anaknya dengan wanita lain. Sakit tak berdarah. Tak pernah membayangkan dan jiwanya masih terguncang kala tahu Bara punya anak dengan wanita lain. Dila ingin menguasai hati Bara. Hanya ia yang berhak memiliki Bara seutuhnya.     

[ Sadar diri Dila. Kamu yang meninggalkan dia. Jangan salahkan Bara jika berpaling ke wanita lain ]     

"Kapan kita ditemukan Bar?" Dila menatap Bara penuh pengharapan. Dila menggigil karena kedinginan. Hanya ada pakaian yang meletak di badan. Bibirnya gemetar tak kuat menahan hawa dingin.     

"Kamu kenapa?"     

"Dingin banget disini Bar." Dila turun dari batu karang. Ia duduk di pantai. Ia menghangatkan badan di depan api unggun.     

Bara menambahkan kayu bakar agar api semakin hangat. Pria itu mengusap kedua telapak tangannya lalu meletakkan tangannya ke pipi agar hangat. Dila menirukan apa yang dilakukan Bara. Hangat ia rasakan.     

Bara mengusap tangannya lebih lama, agar rasa hangat semakin terasa. Dingin menusuk kulit. Keduanya menggigil.     

"Bagaimana jika kita berpelukan agar tubuh kita panas?" Usul Bara tidak tahu malu.     

"Jangan modus Bar." Dila dalam mode galak.     

"Siapa yang modus?" Bara mengangkat bahu. Membuang wajah. Tak mau ketahuan jika ia sedang modus pada Dila.     

Malam semakin larut. Dingin semakin menusuk tulang. Hujan turun dengan deras. Bara membawa Dila berteduh di sebuah pohon besar. Bara memastikan tidak ada binatang melata atau semut di dekat pohon. Mereka duduk dibawah pohon. Dila menggigil karena kedinginan. Reflek ia memeluk Bara dengan erat. Tak ada jarak diantara mereka. Tubuh mereka kian rapat. Napas keduanya memburu-buru. Ada gejolak dalam diri mereka yang siap untuk meledak. Bara menahan napas kala pelukan Dila di pinggangnya semakin erat. Dila lupa jika ia yang menolak pelukan untuk saling menghangatkan, namun ia yang malah melanggar ucapannya.     

Bara menelan wajahnya. Refleks ia membungkam mulut Dila dengan ciuman panas yang menggelora. Suasana memang jahanam hingga membuat otaknya tidak bisa berpikir jernih. Dila malah pasrah dengan perbuatan Bara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.