The Alchemists: Cinta Abadi

Kau Ini Ceroboh, Ya...



Kau Ini Ceroboh, Ya...

Setelah beberapa lama, barulah Fee menemukan suaranya. Tanpa sadar, gadis itu menjatuhkan sepedanya dan berjalan mendekati Ren. Begitu mereka berada berhadapan, Fee berhenti satu langkah dari Ren dan ia menatap pemuda itu dengan mata berkaca-kaca.     

"Aku turut berduka mendengarnya. Maafkan aku yang sudah mengungkit luka lama, Tuan. Aku mengerti.. pasti rasanya sangat menyakitkan..."     

Fee belum pernah melihat Ren tampak demikian sedih. Ia dapat membayangkan betapa pemuda itu merasa sangat berduka dan kehilangan. Fee dapat menduga bahwa orang tersebut pastilah sangat berarti bagi sang pangeran.      

Ren menatap mata Fee yang berlinangan air mata di depannya dan menjadi terkejut. Ia tidak menduga Fee sangat bersimpati kepadanya. Gadis itu ternyata sama sekali tidak marah atas perlakuannya tadi yang mengusirnya secara halus. Fee malahan ikut bersedih melihat Ren diliputi kesedihan seperti sekarang.     

Sikap Fee yang menunjukkan belas kasihan dan simpati itu membuat hati Ren tersentuh. Pemuda itu kemudian maju selangkah dan menutup jarak di antara mereka.     

Kini tubuh keduanya telah bertemu dan saling bersentuhan. Saat tubuh bagian depan mereka bersentuhan, tiba-tiba saja dada Fee berdebar kencang sekali. Spontan, ia hendak melangkah mundur tetapi tangan Ren telah menahan pinggangnya.     

"Kakimu terluka." Suara pria itu terdengar serak. Ia masih merasa emosional dan hal itu terdengar pada suaranya. "Ayo ikut aku pulang, biar kuobati."     

Fee tidak tahu kenapa ia seolah kehilangan kendali pada tubuhnya saat mendengar suara Ren. Dengan patuh ia mengangguk pelan. Ren lalu berbalik dan menggandeng pinggang Fee dengan tangannya, mereka berjalan kembali ke arah villa.     

Fee mengikuti langkah-langkah Ren dalam diam. Ada sesuatu pada diri pria itu yang membuat Fee tidak dapat membantah. Ren memang memiliki wibawa yang sangat besar ketika ia bersikap serius seperti sekarang. Ditambah lagi, ia memang merupakan orang yang berkedudukan sangat tinggi di kerajaan Moravia. Fee sama sekali tidak berani membantahnya.     

"Kau sering sekali terluka," komentar Ren sambil berjalan menuju ke vilanya.      

"Maafkan aku..." Fee hanya bisa meminta maaf. Telah dua kali ia merepotkan Ren yang harus merawat lukanya. Yang pertama ketika ia menjatuhkan poci porselen dan melukai jarinya dengan cukup dalam. Luka itu baru saja sembuh kemarin, dan kini Fee telah melukai lututnya.     

"Perempuan tidak boleh sering-sering terluka, nanti bekas lukanya tidak bisa hilang. Kau bukan seperti anak kecil yang gampang sembuh dari luka-luka," kata Ren lagi. Ia tampak seolah sedang menasihati anak kecil.     

Fee hanya mengangguk. Entah kenapa, saat mendengar kata-kata Ren, dadanya dipenuhi kehangatan. Ia merasa pria itu peduli kepadanya dan sikap Ren itu membuat hati Fee tersentuh.     

Kalau biasanya Fee merasa ia harus tahu diri dan tidak memikirkan hal-hal yang tidak pantas terhadap Ren, kali ini ia menekan perasaannya dan berusaha menikmati kebaikan Ren kepadanya.     

Toh... ini adalah hari terakhir mereka bertemu. Maka, untuk terakhir kalinya, Fee akan menikmati setiap detik kebersamaannya dengan Ren. Karena mulai besok, mereka tak akan bertemu lagi.     

Ahh.. gadis itu sangat sedih memikirkannya.     

"Aduuh.." Karena melamun, tanpa sengaja Fee tersandung batu dan hampir terjatuh kalau Ren tidak sigap menahan pinggangnya.     

"Kau ini ceroboh juga, ya..." tegur Ren. "Bagaimana kau bisa tetap hidup sampai sekarang?"     

"Ma.. maaf." Fee mengomeli dirinya sendiri dalam hati. Ia seharusnya tidak menimbulkan masalah baru. Ia merasa takut Ren akan mengira ia terlalu merepotkan. "Aku tidak apa-apa.. aku bisa berjalan sendiri. Tuan tidak perlu memegangiku."     

Dengan canggung ia berusaha melepaskan tangan Ren yang telah menggandeng pinggangnya sejak dari tepian danau tadi. Namun, rupanya kaki Fee benar-benar sakit hingga begitu ia melepaskan diri dari Ren, tubuhnya terhuyung hendak jatuh.     

"Aku tidak mau merepotkan Tuan," kata Fee. "Aku minta maaf sudah merepotkan Tuan berkali-kali."     

"Kau ini keras kepala," komentar Ren. Ia kembali menahan pinggang Fee dan menegurnya. "Kau akan membuatku lebih repot kalau kau memaksakan diri untuk berjalan dengan kakimu yang sakit."     

Ren tidak mempedulikan kata-kata Fee, tiba-tiba saja sudah membungkuk sedikit lalu mengangkat tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.     

"Aku yang membuatmu sedih dan jatuh dari sepeda. Setidaknya biarkan aku bertanggung jawab mengobatimu," kata pria itu dengan suara baritonnya yang khas. Ia segera berjalan dengan langkah-langkah panjang ke villa no. 4.     

Fee yang masih kaget karena tiba-tiba digendong seperti putri oleh Ren tidak mampu berkata apa-apa. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, mereka telah tiba di dalam villa. Ren meletakkan Fee dengan hati-hati di atas sofa lalu menyentuh lututnya, memberi tanda agar gadis itu diam di tempatnya.     

"Aku akan mengambil kotak P3K," kata Ren. "Kau duduk di sini."     

Fee hanya menatap punggung pria itu memasuki kamar, dengan pandangan haru. Untuk kedua kalinya minggu itu, Ren mengobati lukanya.     

Ren keluar tidak lama kemudian dengan membawa kotak P3K dan segera bersimpuh di depan Fee. Ia mengeluarkan cairan pembersih luka dan kapas lalu membersihkan luka di lutut Fee.     

Gadis itu mengernyit kesakitan ketika lukanya dibersihkan, tetapi ia berusaha menahan diri agar tidak mengeluarkan suara. Ren menaruh antiseptik pada lukanya lalu menaruh dua buah plester untuk menutupi luka gadis itu.     

"Terima kasih, Tuan," kata Fee sambil membungkukkan tubuhnya sedikit. "Sekarang aku harus pulang."     

"Sepedamu sudah rusak dan kakimu terluka. Bagaimana kau akan pulang?" tanya Ren.     

"Aku akan meminta supir resort untuk mengantarku pulang," kata Fee. "Aku akan baik-baik saja."     

"Hmm.." Ren mengangguk. "Aku berubah pikiran tentang yang tadi. Aku tidak mau sendirian saat ini. Apakah kau mau menemaniku?"     

Fee keheranan mendengar permintaan Ren yang tiba-tiba ini. Bukankah tadi Ren yang meminta agar ditinggalkan sendiri? Kenapa sekarang ia justru meminta Fee menemaninya? Ia tidak mengerti kenapa Ren tiba-tiba berubah pikiran.     

"Tentu saja, Tuan," jawab Fee cepat.     

"Terima kasih." Ren bangkit dan berjalan ke dapur. Ia kembali lima menit kemudian dengan sebotol red wine dan dua buah gelas. "Aku perlu ditemani minum. Aku sedang sedih."     

"Oh..." Fee menggigit bibirnya mendengar permintaan Ren. Ia belum pernah minum alkohol di jam kerja. Tetapi sepertinya Ren memang benar-benar sedih. Fee merasa tidak tega kalau menolak. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk lemah. "Biar aku tuangkan minuman untuk Anda."     

Ia hendak mengambil botol dari tangan Ren tetapi pemuda itu menepis tangannya dengan lembut. "Tidak usah. Biar aku saja yang menuang. Kau duduk manis di situ."     

Ren menuangkan wine ke dua buah gelas hingga penuh. Ia menyerahkan satu gelas kepada Fee dan mendentingkan gelas mereka, sebelum kemudian meminum wine-nya.     

Fee mengikuti tindakan Ren dan menyesap wine-nya. Mereka lalu duduk berdampingan sambil masing-masing memegang segelas red wine di tangan. Setelah isi gelas pertama habis, Ren menuangkan kembali wine ke gelas mereka. Keduanya lalu melanjutkan minum tanpa saling bicara.     

Fee menikmati waktu kebersamaannya dengan Ren, sementara Ren terlihat membenamkan diri dalam kesedihan. Suasana terasa hening selama beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara Ren memecah suasana.     

"Ayahku adalah seorang laki-laki genius dan penuh bakat. Ia meninggal bunuh diri di danau Salzsee saat umurnya baru 22 tahun. Aku tidak pernah bertemu dengannya," kata Ren tiba-tiba.     

Fee tertegun mendengar perkataan Ren yang diucapkannya dengan nada suara dipenuhi kepedihan. Ia baru mengerti bahwa orang yang dimaksud Ren tadi adalah ayah kandungnya. Ia sama sekali tidak menduga hal ini.      

Fee menoleh ke samping dan menatap Ren dengan sepasang mata membulat. Ia melihat wajah pria itu dari samping terlihat seperti patung dewa Yunani yang sedang bersedih.     

Orang tua Fee telah meninggal empat tahun yang lalu, tetapi ia sama sekali tidak memiliki kenangan apa pun tentang mereka, sehingga ia sulit untuk merasakan kesedihan atas kehilangan mereka.     

Sementara, ia melihat Ren tampak sangat mencintai pria yang meninggal sebelum ia dilahirkan itu. Kerinduan Ren pada ayahnya terasa begitu mendalam dan menyedihkan, dan tanpa terasa ikut memengaruhi Fee.     

"Aku... sangat berduka mendengarnya..." bisik Fee. Ia tak dapat menahan butir-butir air mata yang meluncur turun ke pipinya. Mungkin ini salah satu penyebab Ren mengalami insomnia parah. Ia terlalu memikirkan tentang ayahnya, pikir Fee sedih.     

Ren menoleh ke arah Fee saat mendengar suara gadis itu. Sepasang mata biru indah itu tampak berkaca-kaca, membuat hatinya tersentuh.     

Ren lalu menaruh gelas wine-nya ke meja dan sesaat kemudian, tangan kirinya membelai rambut panjang Fee yang tergerai indah ke bahunya.     

"Mengapa kau menangis?" bisiknya.     

Tangan kanannya kemudian menahan bahu gadis itu saat ia mendekatkan wajahnya ke wajah Fee, dan mencium bibirnya. Ciuman itu manis dan sangat menyenangkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.