Cemburu
Cemburu
Mereka memperhatikan pemandangan indah itu dengan ekspresi kagum. Rasanya seolah melihat pangeran menggendong seorang putri dari dongeng.
"Ren.. kita terlalu menarik perhatian," bisik Fee ke telinga suaminya. Selama ini Ren selalu mengenakan pakaian kasual dan topi sports untuk menyamarkan penampilannya, sehingga ia tidak terlalu menarik perhatian orang-orang sebagai pangeran putra mahkota kerajaan Moravia. Tetapi kini, justru pandangan semua orang tertuju kepada mereka.
Ia sangat takut salah satu dari mereka akan mengenali Ren sebagai Pangeran Renald Hanenberg... Atau bagaimana jika ada orang yang memuat foto mereka ke internet?
Tanpa sadar ia mengangkat tangannya dan menutupi wajah Ren sementara suaminya itu menggendongnya ke arah mobil Rolls Royce mewahnya yang terparkir di blok sebelah. Karl telah mendahului mereka dan membukakan pintu mobil untuk tuannya.
"Terima kasih, Karl. Kita pulang saja," kata Ren. "Nyonya perlu beristirahat."
"Baik, Tuan."
Setelah Ren dan Fee duduk di bangku belakang, Karl segera melajukan mobilnya kembali ke mansion Ren.
Pria itu sama sekali tidak berkata apa-apa di perjalanan. Wajahnya terlihat keruh. Fee pun masih terkejut dan gemetar. Ia hanya bisa diam di kursinya.
Ren menoleh ke samping dan saat melihat istrinya tampak gemetaran, ia lalu mengusap-usap rambut Fee.
"Aku memang tidak pernah marah di depanmu," kata Ren dengan suara pelan. "Tapi aku bisa marah. Aku tidak mau melihatmu diganggu orang-orang seperti itu lagi. Bayangkan kalau tadi aku tidak datang pada saat yang tepat."
"Mereka itu teman sekolahku..." kata Fee pelan. "Aku tidak terlalu kenal mereka. Tapi aku pernah melihat mereka beberapa kali di kuliah gabungan. Mungkin tadi mereka memang hanya bercanda."
"Aku tidak peduli mereka bercanda atau tidak, tetapi aku tidak dapat membiarkan kau mengalami hal seperti itu lagi," kata Ren. "Aku mau kau berhenti bekerja."
"Ren.. itu hanya terjadi satu kali. Tidak akan terulang lagi..." Fee memutar tubuhnya dan menghadap Ren. "Aku suka dengan pekerjaanku. Stevan juga bilang akan mempromosikanku menjadi asisten manajer bulan depan. Aku bisa banyak belajar di sana, dibandingkan hanya sekolah."
"Fee.. kau anggap aku ini apa? Aku ini suamimu. Aku sudah berkompromi sangat banyak untukmu... Aku pikir waktu setahun bekerja di kafe seharusnya sudah cukup untukmu. Aku bisa mengerti tahun kemarin kau merasa bosan sendirian di rumah, tetapi sekarang kau kan sudah cukup sibuk dengan kuliahmu? Kenapa kau tidak fokus saja pada sekolahmu dan berhenti bekerja di kafe."
Fee menggigit bibirnya saat mendengar kata-kata Ren barusan. Suaminya tidak pernah berlaku seperti ini sebelumnya. Ren selalu mengerti dan mendukung keinginannya. Fee tidak terima, hanya karena satu insiden dengan tamu jahat, ia dipaksa untuk berhenti bekerja.
"Itu tidak akan terjadi lagi..." bisik gadis itu, berusaha membela diri. "Aku akan langsung menghindari orang-orang yang mencari masalah denganku."
"Kenapa kau sangat suka bekerja di sana?" tanya Ren sambil menatap Fee dalam-dalam. "Kalau itu karena uangnya..."
"Sama sekali bukan uang. Kau tahu aku sangat berterima kasih, kau selalu mencukupi kebutuhanku. Uang yang kau berikan untukku setiap bulan masih sangat banyak tersisa. Aku hanya senang mendapatkan uang dengan upayaku sendiri.. Aku juga senang berinteraksi dan bertemu dengan orang-orang..." kata Fee pelan.
"Kalau begitu, cari pekerjaan lain yang lebih pantas," kata Ren lagi. "Pekerjaan di mana orang akan menghormatimu, dan tidak memperlakukanmu seperti manusia kelas dua hanya karena kau bekerja melayani mereka."
"Tapi aku hanya lulusan SMA.. aku tak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik..." keluh Fee.
"Aku akan mencarikannya untukmu.." kata Ren singkat.
"Tapi aku..."
Belum sempat Fee mencoba protes, ponsel Ren berbunyi dan pria itu mengeluarkan ponselnya dari saku. Di layar tertulis nama Amelia. Kening Fee seketika berkerut saat melihat nama itu. Ia seketika diam dan kupingnya menjadi tegak untuk mendengarkan suara Ren bicara dengan sekretarisnya.
Fee sudah hampir setahun tidak bertemu Amelia. Ren menepati janjinya untuk tidak membiarkan Amelia datang ke rumah mereka.
"Hallo, Amelia.." Ren mengangkat ponselnya di depan Fee. Ia tahu istrinya mendengarkan, karena itu ia sengaja langsung mengangkat teleponnya. Ia tidak mau Fee mengira ia menyembunyikan sesuatu darinya.
"Ren, kau di mana? Malam ini ada gala dinner di istana untuk menerima kunjungan delegasi Uni Eropa. Aku sudah menyiapkan dua tuxedo di ruanganmu untuk kau pilih, tetapi kau tidak ada di sana. Kau tidak menghindari acara ini kan? Kakekmu sampai menghubungiku berkali-kali untuk memastikan kau datang. Ini acara super penting. Ia berpesan bahwa aku harus menyeretmu untuk datang kalau perlu.. hahaha..."
"Aku akan datang jam 5 sore. Sekarang aku pulang dulu ke rumah," jawab Ren.
"Ah, baiklah. Oh, ya... aku sarankan kau memilih tuxedo yang berwarna biru tua karena aku akan memakai gaun yang senada. Akan lebih serasi kalau kita mengenakan pakaian yang mirip sebagai tuan rumah. Dan juga..."
KLIK.
Ren telah mematikan teleponnya dan menyimpan ponselnya kembali ke saku. Amelia yang keheranan karena panggilan teleponnya dimatikan begitu saja, kembali menelepon, tetapi Ren tidak mengacuhkannya.
Setelah 12 deringan ia malah mematikan ponselnya.
Fee membeku di tempatnya saat ia mendengar pembicaraan antara suaminya dan Amelia. Ini adalah saat pertama ia mendengar mereka berbicara di telepon, setelah peristiwa tahun lalu. Ren dan Amelia masih berbicara seakrab biasanya, dan entah kenapa dadanya pelan-pelan dibakar api cemburu.
Memang wajar jika Ren dan Amelia terdengar akrab, karena mereka sudah berteman sejak sangat lama. Malahan mereka adalah teman sejak kecil. Selama ini Fee tidak pernah mempermasalahkannya.
Selama ia tidak mendengar tentang Amelia dan melihat orangnya, ia merasa hubungan mereka akan baik-baik saja, dan ia bisa menerima posisi Amelia sebagai sekretaris suaminya.
Ia dapat menerima alasan Ren bahwa ia tak dapat memecat Amelia hanya karena Fee tidak menyukai gadis itu. Tetapi kini, hatinya mulai merasa tertusuk saat membayangkan selama ini Amelialah yang mendampingi Ren dalam acara-acara kenegaraan.
Gadis itu bahkan sampai menyiapkan pakaian yang akan dipakai Ren untuk mendatangi acara-acara penting, dan ia sendiri bisa menentukan pakaian yang serasi untuk mereka kenakan.
Fee merasa, seolah di luar sana, Amelialah yang menjadi pendamping suaminya.. sementara ia disembunyikan di rumah sebagai istri rahasia. Pelan-pelan dadanya terasa sakit oleh rasa cemburu.
Tanpa sadar Fee membuang muka ke arah jendela dan menggigit bibirnya. Ia tidak ingin cemburu kepada Amelia.. tetapi ia tak dapat menahan perasaannya sendiri.
Ren menyadari sikap Fee berubah. Ia menyentuh lengan istrinya. Fee menoleh ke arahnya dan menatap Ren dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa kau bersedih?" tanya Ren lembut.
Fee berusaha menggeleng. Tetapi di benaknya kembali terngiang-ngiang suara riang Amelia di telepon barusan. Sudah berapa kali Amelia bertindak sebagai 'tuan rumah' bersama Ren dalam acara jamuan kenegaraan seperti ini?
Mengapa ia tidak boleh menjadi wanita yang mendampingi Ren dalam tugas-tugasnya itu? Kenapa Ren harus terus menyembunyikannya? Apakah karena ia berasal dari kampung dan tidak berpendidikan...?
"Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya," kata Ren sambil menatap dalam-dalam ke sepasang mata biru Fee yang indah. "Aku tidak bisa membawamu."
Pria itu rupanya dapat membaca apa yang ada di pikiran Fee.
Ucapannya memang benar. Sebelum mereka menikah, ia telah meminta waktu lima tahun kepada Fee untuk mengumumkan pernikahannya kepada publik, dan Fee telah setuju. Tetapi baru setahun, Fee sudah merasakan betapa ia merasa cemburu saat dirinya disembunyikan sementara suaminya didampingi wanita lain dalam acara-acara penting.
Fee menunduk sedih. Ia tidak dapat membantah karena ia sendiri yang menyetujui perjanjian mereka. Namun ia tak dapat menahan perasaannya yang merasa cemburu dan terluka.
"Fee..." Ren menyentuh dagu Fee dan mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibir istrinya dengan mesra, kemudian berkata, "Semua orang itu tidak penting. Yang penting aku milikmu..."