Teror di Menara
Teror di Menara
Gadis itu mengangkat wajahnya dan menggeleng dengan bibir mengerucut. "Dia ada urusan penting sehingga tidak bisa datang..."
"Oh... begitu ya?" Pelayan itu tampak sangat bersimpati. Gadis muda di depannya ini sangat cantik dan terlihat menyenangkan. Bagaimana bisa temannya menelantarkannya begitu saja? pikirnya keheranan. "Apakah Nona perlu kami panggilkan taksi?"
Vega menggeleng sendu dan mengeluarkan ponselnya. "Tidak usah. Aku akan meminta saudaraku untuk menjemput."
"Oh.. baiklah, kalau begitu. Jangan sungkan-sungkan memberi tahu saya kalau Nona membutuhkan bantuan, ya," kata pelayan itu lagi dengan penuh hormat. "Oh, ya.. apakah Nona masih mau memesan makanan lagi?"
Sedari tadi, Vega baru memesan hidangan pembuka atau appetizer dan dua gelas wine. Ia sama sekali tidak punya nafsu makan. Gadis itu menggeleng.
"Tidak. Terima kasih. Aku membayar tagihannya saja. Boleh minta bill-nya?"
Pelayan itu mengangguk hormat. "Tentu saja."
Ia datang tidak lama kemudian dengan membawa bill makanan Vega. Gadis itu sedang sibuk menulis SMS kepada Altair agar datang menjemputnya ke restoran. Ia benar-benar merasa sedih dan tidak ingin pulang sendirian.
Saat tagihannya datang, Vega hanya melirik sekilas. Ia menambahkan tip 100 euro pada total tagihan dan meletakkan kartunya ke atas nampan bill. Wajah sang pelayan tampak sangat terkejut ketika melihat besarnya tip yang diberikan gadis itu dan kartu yang ia gunakan untuk membayar.
Kartu titanium berwarna hitam dengan desain minimalis itu sangat legendaris di antara restoran-restoran kalangan atas karena mereka sangat jarang melihatnya. Hanya orang-orang super kaya yang memiliki kartu semacam itu, mungkin tidak sampai 50 orang di dunia ini yang memegang kartu tersebut.
Kartu ini tidak memiliki limit dan dapat digunakan untuk membeli apa saja di dunia ini. Lalu, mengapa gadis muda ini bisa memilikinya? Apakah...?
Ah.. pasti ia berasal dari salah satu keluarga paling kaya dan berpengaruh di dunia, pikir pelayan itu sambil menatap Vega dengan kagum. Kira-kira dari keluarga mana?
Ia sama sekali tidak mengenali nama keluarga Medici yang digunakan gadis itu untuk reservasi meja tadi siang. Sayangnya kartu yang dipakai gadis ini sangat ketat privasinya.
Bahkan kasir restoran yang menggeseknya tidak dapat menemukan detail nama sang pemilik kartu, karena kerahasiaan klien sangat dijaga oleh lembaga keuangan penerbit kartu tersebut.
Ahh... sayang sekali. Sungguh gadis yang sempurna dan berasal dari keluarga sangat kaya dan terpandang, harus mengalami kencan makan malam yang tidak mengenakkan, pikir sang pelayan sambil menatap Vega dari kejauhan.
Setelah kartu gadis itu selesai digesek dan ia memperoleh kwitansi dari kasir, pelayan itu kembali menghampiri Vega dan menyerahkan kembali kartunya dengan hormat.
"Nona sudah menghubungi saudara Nona?" tanyanya dengan penuh perhatian.
"Iya. Ia pasti akan segera kemari," kata Vega.
"Ah... syukurlah. Kalau Nona ada perlu apa-apa, silakan panggil saya, ya..."
"Terima kasih." Vega mengangguk penuh terima kasih. Sikap sang pelayan yang demikian ramah berhasil membuatnya merasa lebih baik.
Ia memutuskan untuk menghubungi Mischa kembali sambil menunggu Altair menjemputnya.
[Apakah Kakak baik-baik saja? Kumohon kabari aku kalau kau baik-baik saja. Aku sangat kuatir.]
Vega hanya bisa menghela napas sedih karena hingga lima menit berlalu, Mischa tidak juga membalas SMS-nya.
Ia menguap sedikit karena mulai merasa mengantuk. Dua gelas wine yang tadi diminumnya mulai menunjukkan reaksi. Hmm.. sekarang ia mulai merasa menyesal. Seharusnya tadi ia langsung pulang ketika Mischa tidak datang setelah setengah jam dan bukannya malah minum wine.
Tetapi tadi, perasaan Vega memang sedang kacau. Ia benar-benar kecewa karena tidak mengira Mischa akan meninggalkannya tanpa kabar seperti ini.
"Nonaaa!! Banguuun... jangan tidur di sini...!"
Vega mengangkat sebelah alisnya dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia menguap sekali lagi. Dari arah pintu ia melihat Leon, salah seorang pengawal yang ditugaskan ayahnya untuk mengawasinya dari jauh, tampak masuk ke dalam restoran dengan tergesa-gesa.
Leon, John, dan Claude selama ini selalu mengawasinya dan Altair secara diam-diam dan tidak pernah memunculkan diri. Mereka sangat pandai menjaga privasi kedua majikan mudanya. Lalu kenapa tiba-tiba Leon muncul di sini? Vega merasa sangat keheranan.
"Hai, Leon... aku sedang menunggu Altair. Dia akan..." Tiba-tiba Vega membulatkan matanya dan wajahnya seketika dipenuhi horor. "Leon! Kau kenapaaa??"
Tepat di depan matanya, tubuh Leon tersentak saat seseorang menembaknya dari belakang dengan rentetan peluru dari dua buah pistol berperedam. Sebelum sang pengawal berhasil menjangkau Vega, tubuhnya terkulai dan jatuh ke lantai dengan suara keras.
"Aaahhhh....!!!!!" Vega menjerit sekeras-kerasnya. Semua tamu di restoran yang ada di sekitarnya juga segera menjadi panik. Mereka menjerit-jerit dan bersembunyi di kolong meja.
Dua orang pria bertopeng masuk ke dalam restoran dengan langkah-langkah kasar. Masing-masing membawa dua buah senjata api yang ditembakkan ke berbagai penjuru untuk menakut-nakuti semua orang yang ada di dalam restoran.
Pelayan yang tadi melayani Vega dengan sangat ramah tertembak beberapa peluru dan mati seketika dengan sepasang mata membelalak dan dada berlumuran darah. Kepanikan segera melanda semua orang. Yang berhasil menyembunyikan diri jauh dari pandangan para pembunuh buru-buru menghubungi nomor darurat polisi.
Vega menutupi kepalanya dengan kedua tangan dalam kepanikannya. Ia sangat takut dan histeris. Seumur hidupnya, ia tak pernah bersentuhan dengan bahaya, karena ayahnya dan pamannya selalu memastikan pengamanan terbaik untuknya dan Altair.
Oh Ayah... Ibu... aku takut... jerit Vega dalam hati.
Ia sangat ngeri membayangkan bahwa ini adalah saat-saat terakhirnya... Kalau para penjahat itu membunuhnya.. seperti mereka telah membunuh Leon, dan pasti juga telah membunuh John dan Claude... maka ia akan mati tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang disayanginya...
Ia tidak sempat berpamitan kepada Papa Nic.. kepada Altair.. juga ayah dan ibu serta kedua adiknya...
"Kau.. bawa dia, aku urus yang lain." Terdengar suara seorang penjahat bertopeng itu kepada rekannya. Saat Vega mengangkat wajah untuk mengetahui apa yang akan mereka lakukan, ia menjadi sangat terkejut.
Ternyata seorang penjahat bertopeng itu datang menghampirinya dan kemudian memukul tengkuknya.
Semuanya kemudian menjadi gelap.
Penjahat yang memukul Vega hingga pingsan kemudian membopong gadis itu dengan mudah, sementara temannya masih menembaki orang-orang yang sedang bersembunyi, untuk memastikan mereka tidak bangun dari bawah meja.
Setelah ia memastikan rekannya yang menculik Vega telah menghilang dengan aman, barulah penjahat yang tersisa ikut melarikan diri.
Begitu mereka menghilang, segera terdengar tangis histeris dari wanita-wanita yang selamat dari peristiwa teror itu. Beberapa orang yang memiliki mental lebih kuat, berusaha keras menabahkan diri dan menghubungi polisi.
Beberapa menit kemudian, terdengar bunyi sirene polisi yang hiruk-pikuk memenuhi area di sekitar Menara Eiffel.