The Alchemists: Cinta Abadi

Menipu Mischa



Menipu Mischa

Vega membuka matanya saat merasakan tubuhnya diletakkan perlahan-lahan di sebuah sofa yang empuk. Ia pura-pura mengaduh dan memegangi dahinya.     

"Kau sudah bangun?" Terdengar suara hangat itu, dekat sekali dari telinganya.     

"Uhm.... siapa kau?" tanya Vega, pura-pura tidak mengenali Mischa. Ia bangun dan memperbaiki posisi tubuhnya di sofa dan melihat ke sekelilingnya. "Aku di mana?"     

"Kau di lobby hotel," kata Mischa. "Aku sudah memanggil dokter."     

Vega memandang ke sekelilingnya dan tampak terkejut. "Kau siapa?"     

Mischa tampak menimbang-nimbang, apakah ia perlu memberi tahu identitasnya kepada Vega atau tidak. Akhirnya ia tersenyum manis dan duduk menyilangkan tangan di dada.     

"Namaku Mischa Rhionen. Kurasa kau pernah mendengar namaku," kata pemuda itu dengan suara ramah.     

Vega menatap Mischa dan mengangguk. "Ahhh... Kak Mischa. Sedang apa di sini?"     

"Uhm... menjagamu?" tanya pria itu balik. "Paman Nicolae ada urusan mendadak dan ayahmu memintaku datang, sekaligus menyuruhku untuk mencari suasana baru."     

"Ahhh...." Vega mengangguk-angguk. "Kalau begitu Kak Mischa yang tadi menyelamatkanku?"     

Mischa mengangguk. "Kau kenapa tadi? Kok bisa tiba-tiba pingsan?"     

Vega memegangi kepalanya dan pura-pura mengaduh lagi. "Entahlah... tadi kepalaku pusing sekali. Mungkin aku kepanasan. Sekarang juga masih pusing. Ini di lobi hotel mana?"     

"Di Hotel Noir," kata Mischa. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Aku sengaja memilih hotel  yang dekat dari penginapan kalian."     

"Ahh.. terima kasih banyak. Kalau tidak ada Kak Mischa, aku tidak tahu apa yang terjadi kepadaku," kata Vega sambil tersenyum manis. Ia lalu berusaha duduk tetapi kepalanya terasa sakit dan ia mengaduh lagi. Mischa menjadi kuatir dan segera menahan tubuh gadis itu agar tetap berbaring.     

"Mungkin kau tadi terantuk sesuatu dan mengalami luka dalam. Sebaiknya aku membawamu langsung ke rumah sakit. Dokternya belum datang juga."     

Ia lalu kembali membopong Vega dan memberi  tanda kepada concierge hotel untuk menyiapkan mobil.     

"Ehh.. aku tidak apa-apa, serius," Vega berusaha melepaskan diri dari gendongan Mischa. Kalau sampai ia sungguh-sungguh dibawa ke rumah sakit, dokter akan dapat memastikan bahwa gadis itu hanya berpura-pura, dan ia tentu akan merasa malu di depan Mischa.     

"Aku tidak mau mengambil risiko denganmu," kata Mischa tegas.      

Mobil telah datang dan dengan hati-hati ia menaruh tubuh Vega di kursi belakang. Ia sendiri duduk di samping Vega dan menaruh kepala gadis itu di pangkuannya. Setelah pintu mobil ditutup concierge, supir segera melajukan kendaraannya ke arah rumah sakit.     

Vega merasa bersalah karena telah menipu Mischa. Ia tidak mengira pria itu terlalu serius menanggapi keadaannya. Tetapi, di sisi lain, ia juga merasa senang karena bisa menaruh kepalanya di pangkuan Mischa.      

Ahh... Vega, kau nakal sekali, katanya dalam hati.     

Diam-diam ia merasa geli sekaligus dimanjakan karena kakak angkatnya begitu melindunginya. Ia bahkan jauh lebih cepat dari dua pengawal pribadi yang ditugaskan selalu menjaga dirinya dan Altair.     

Vega masih pusing memikirkan alasan perbuatannya terhadap Mischa ketika mereka tiba di rumah sakit. Pemuda itu telah menggendongnya masuk ke dalam ICU, bahkan tidak menunggu perawat memberikan kursi roda untuk Vega.     

"Maaf, Anda tidak bisa langsung masuk," kata perawat yang menemui mereka. "Nona ini harus mendaftar dulu."     

"Siapa dokter jaga di sini?" tanya Mischa cepat.     

"Dokter Francis, tetapi beliau sedang memeriksa pasien. Tolong tunggu sebentar."     

Mischa tetap berdiri di tempatnya sambil menggendong Vega yang mulai merasa canggung. Ia tidak mengira Mischa sangat serius mengurusinya. Tadinya ia hanya ingin mengerjai pria itu dan kemudian mengaku bahwa ia hanya berpura-pura. Tetapi sekarang, Vega justru berharap  ia memang sakit agar ia tidak terlalu malu kalau sampai ketahuan oleh Mischa bahwa Vega sengaja menipunya.     

"Kak Mischa terlalu berlebihan," kata Vega dengan suara pelan. "Aku sungguh tidak apa-apa. Tadi hanya jatuh sedikit kok. Tidak ada yang luka."     

"Kita tidak bisa mengambil risiko," kata Mischa tegas.     

"Uhm... serius. Aku tidak apa-apa."     

"Aku melihatmu jatuh, dan detak jantungmu tadi sangat lambat," balas Mischa. "Seperti yang sudah kubilang, sebaiknya kita menunggu pendapat dokter."     

"Aku benar-benar tidak apa-apa." Vega berusaha turun dari gendongan Mischa dengan susah payah. Tangann pria itu sangat kuat dan ia kesulitan untuk melepaskan diri.  "Aduh.. turunkan aku."     

"Aku tidak akan dapat menghadapi Tuan kalau sampai terjadi apa-apa denganmu," Mischa tetap bersikeras. Wajahnya yang tampan tampak serius dan untuk sesaat Vega menjadi terpesona.     

Ah.. ia senang sekali dilindungi sedemikian rupa oleh lelaki tampan yang sedari awal telah membuatnya tertarik. Tetapi, ia tak dapat membayangkan kalau sampai orang tuanya tahu ia masuk rumah sakit, Alaric akan panik dan membuat keributan. Hal ini akan membuat penyamarannya sebagai siswa SMA biasa menjadi terbongkar.     

Teman-temannya akan tahu siapa dirinya sebenarnya, dan Vega sangat tidak ingin hal itu terjadi. Akhirnya ia kembali memaksa turun.      

"Kak Mischa, tolong turunkan aku. Aku sudah tidak apa-apa. Tolong jangan sampai ayah tahu."     

"Aku harus memastikan kau tidak apa-apa. Kita akan menunggu dokter dulu."      

Astaga.. Vega hanya bisa  memijat keningnya. Ia tidak mengira Mischa demikian keras kepala.     

"Ugh.. baiklah, Aku mengaku," cetus gadis itu kemudian. "Aku berbohong. Aku tidak jatuh karena kepanasan. Aku berpura-pura. Aku taruhan dengan teman-temanku bahwa aku bisa membuat Kakak mendatangiku."     

Mischa tertegun mendengar kata-kata Vega. Sepasang matanya terbelalak dan wajahnya tampak kecewa. Secara spontan tangannya melepaskan tubuh Vega hingga gadis itu jatuh ke lantai.     

"Auwwww!!!" Vega menjerit sambil berusaha menahan jatuhnya dengan tangan agar tidak terlalu sakit. "Kau jahat sekali!!!"     

Mischa ikut terkejut melihat hasil perbuatannya dan segera membantu Vega bangun. "Ah... maaf, aku sangat terkejut. Kau membuatku kaget."     

"Sekarang aku jadi sakit betulan!" omel Vega. "Kau harus bertanggung jawab..."     

Mischa tampak memutar matanya. Ia merasa ditipu oleh gadis remaja berwajah malaikat itu. "Itu kesalahanmu sendiri."     

"Aku bersalah menipumu saat aku pura-pura jatuh, tetapi yang ini aku tidak menipu. Kau menjatuhkanku ke lantai. Semua orang bisa menjadi saksi!" Vega segera bangun dan meminta pendapat semua pasien yang menunggu di ruang tunggu. "Kalian semua lihat bahwa dia tadi menjatuhkanku, kan?"     

Orang-orang yang ada di situ mengangguk-angguk.     

"Astaga.. anak muda, kenapa jahat sekali menjatuhkan adik cantik ini? Pasti rasanya sakit sekali," tegur seorang wanita separuh baya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.     

"Benar. Kau  harus bertanggung jawab dan menebus perbuatanmu," tukas wanita lainnya.     

Mischa mengerutkan keningnya dan hendak membantah, tetapi kemudian ia melihat wajah Vega tampak sudah dipenuhi air mata.     

"Baiklah, aku minta maaf karena sudah menjatuhkanmu karena aku kaget." Akhirnya Mischa mengalah. "Apa yang kau inginkan?"     

Vega mengusap air matanya dan mengangguk. "Pantat dan kakiku sakit karena jatuh. Aku tidak bisa berjalan pulang. Kau harus menggendongku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.