A Song of the Angels' Souls

137. Penyangkalan



137. Penyangkalan

Ione berlutut di kamarnya. Kedua tangannya menempel di lantai. Air matanya tak kunjung berhenti menetes. Tubuhnya bergetar tak terkendali.     

Di belakang bidadari itu, Marcel berdiri. Pria itu mengamati lengannya, yang kini juga dihiasi tiga tanda berwarna merah jambu.     

"Maafkan aku, Kacia ...." Ione merintih pilu. "Maafkan aku ...."     

Marcel menarik napas. "Bidadari yang harus kita bunuh masih banyak. Kalau satu saja kamu sudah seperti ini, bagaimana ...."     

"Aku tahu," potong Ione dengan suara parau, bangkit membelakangi Marcel dan menghapus air matanya. "Aku tetap akan melakukan ini, apa pun yang terjadi. Sekarang, bisakah kamu tinggalkan aku sendiri."     

"Tapi...."     

"Sudah kubilang, pergilah," sela Ione lagi, kali ini dengan nada dingin dan penuh penekanan.     

Tubuh Marcel bagai dialiri listrik begitu mendengar suara Ione yang seperti itu. Tak mau memicu keributan, akhirnya Marcel memilih mundur, keluar dan menutup pintu kamar.     

Ione lalu bergerak ke cermin, memandangi matanya yang seperti mata ikan mati. Dulu, mencabut nyawa sebanyak apa pun bukan masalah baginya. Itu hanyalah tugas. Hanya rutinitas belaka. Hanya misi yang harus diselesaikan. Ia tidak perlu tahu latar belakang korbannya. Tidak perlu tahu sebab mereka harus dihabisi.     

Sekarang, hatinya seperti dirajam ribuan jarum. Barangkali inilah mengapa dari dulu dia diajarkan tidak boleh terlalu dekat dengan seseorang. Sejak kecil, dia tidur di kamar sendiri. Tidak ada waktu bermain. Bersosialisasi pun itu bagian dari kurikulum, dia dilatih berbicara, becanda, merayu dan melakukan aktivitas sosial lainnya dengan orang-orang berbeda. Tentu saja semua itu dilakukan untuk kepentingan misinya.     

Begitu tiba di bumi, semua berubah. Dia bebas mengekspresikan dirinya sendiri. Dia menjadi dirinya sendiri. Dia biarkan perasaannya berkembang dengan orang-orang di dekatnya.     

"Kasihan sekali kamu."     

Ione ingat. Itu kalimat yang diucapkan Stefan saat pertama kali bertemu dengannya. Seakan-akan, kekasihnya itu tahu kehampaan dalam hatinya.     

Apakah dirinya bisa bertahan untuk membunuh mantan rekan-rekannya itu? Apakah Lois, Lyra, Etria, dan Mireon pantas dikorbankan untuk hasratnya membangkitkan Stefan?     

Kacia jelas tidak pantas mati. Dia hanya terperangkap dalam pemilihan ratu ini. Dia hanya ingin sayapnya kembali. Dia hanya ingin pulang. Dia tidak ingin membunuh. Maka dari itu, dia mengikuti Ione, yang waktu itu berjuang agar para bidadari tidak saling membunuh.     

Air mata Ione kembali turun deras. Dia telah mengkhianati bidadari berhati mulia itu.     

Haruskah dia menyerah saja, tidak melanjutkan misi ini? Mustahil. Memangnya Rava akan memaafkannya? Seperti dirinya yang dibakar dendam karena kematian Stefan, Rava pun akan dibakar dendam karena kehilangan Kacia.     

Ya, dia tak bisa mundur. Dia ingin memeluk Stefan lagi.     

***     

"Nggak! Kacia belum mati! Dia cuma pergi! Aku belum lihat mayatnya! Dia nanti pasti bakal kembali!!!" sergah Rava di depan para bidadari. Pemuda itu sudah berlinang air mata.     

Ibu Rava cuma bisa melihat anaknya itu dengan mata yang dilapisi cairan bening.     

Tak jauh di situ, Etria terduduk di lantai. Kakinya lurus dan punggungnya bersandar di tembok. Memeluk boneka Kacia, ia memandang kosong ke depan. Sedari tadi, air matanya juga tak kunjung berhenti mengalir.     

Lois berusaha mendekati Rava, berjalan pelan dan berbicara dengan nada sangat hati-hati, "Kamu sudah melihat lenganmu, kan? Tanda Kacia sudah tidak ada."     

"Dia cuma melepaskan kontraknya! Dia cuma pergi ninggalin aku! Aku harus mencarinya sekarang juga!!!" jerit Rava histeris, bergerak menuju pintu keluar.     

"Rava! Yang bisa melepas kontrak cuma tuan seperti kamu!" bantah Lois.     

"Kamu mau pergi ke mana, Rav!?" panggil sang ibunda.     

"Aku mau cari Kacia! Dia ...." Rava berhenti berucap karena Lyra menghadangnya. Pemuda itu pun menyeringai bengis kepada bidadari yang memandanginya dengan dingin itu. "Jangan halangi aku!!!"     

Lyra menarik kerah baju tuannya itu, kemudian menunjukkan layar ponselnya. "Lihat! Ini mayat Kacia! Buka mata kamu lebar-lebar! Kamu bisa melihatnya dengan jelas, kan!!!"     

Mata Rava langsung membelalak saat melihat foto Kacia yang tergeletak dengan wajah pucat. Mata bidadari itu sedikit terbuka dan tak memancarkan cahaya kehidupan.     

"Ini waktu dia dimakan oleh Piv!" Mulai terisak, Lyra menggulirkan ibu jarinya ke ponselnya itu, menunjukkan foto lainnya. "Sekarang, kamu tahu kan kalau dia sudah benar-benar mati!?"     

"Lyra, cukup!" cegah Lois, menahan tangan saudari angkatnya tersebut.     

Rava menampik ponsel itu sampai melayang dan mendarat keras di lantai. Ia mundur dengan terhuyung dan meremas rambutnya. Matanya yang terus mengalirkan cairan bening itu makin membelalak. Kemudian, ia pun membungkuk dengan tubuh gemetaran.     

"Aaaarggggghhhhh!!!" Rava berlari memasuki kamarnya dan menguncinya dari dalam. Di sana, dia terus berteriak-teriak bak orang sinting. "Aaarggggghhhh!!! Aaarggggghhhh!!! Aaarggggghhhh!!!"     

Ibu Rava mulai menyeka cairan bening di matanya. "Ibu nggak pernah lihat Rava yang begitu. Dia itu nggak pernah kehilangan orang terdekatnya."     

Lyra menempelkan keningnya ke pintu kamar itu. Tak lagi memajang ekspresi tajamnya yang biasa, bidadari itu juga meneteskan air mata. Tubuhnya pun melorot sampai dirinya berlutut di lantai.     

Ia mulai melantunkan sebuah lagu dengan suaranya yang merdu, walau sesekali harus tersendat karena isakannya. Nyanyian itu bercerita tentang jiwa yang murni dan penuh kasih. Jiwa yang tidak bisa melihat orang lain menderita. Jiwa yang akan selalu diperlukan di belahan dunia mana pun.     

Namun, nyanyian itu masih tak mampu menghentikan raungan-raungan pilu Rava.     

***     

Malam telah begitu larut, Lyra duduk di sofa ruang tengah dengan dagu yang dipangku kedua tangan. Di antara kesunyian, terdengar dengkuran halus dari ruang depan. Janu memang memutuskan untuk tidur terpisah dengan Rava setelah apa yang terjadi.     

Pandangan Lyra terhujam lurus ke pintu kamar Rava. Tangisan tuannya itu sudah tidak terdengar. Rava berhasil ditenangkan ibunya, walau itu memakan waktu berjam-jam. Namun, Lyra tidak yakin kalau Rava sudah benar-benar berhenti menangis. Barangkali, tuannya itu masih meneteskan air mata dalam diam.     

Lois keluar kamarnya sambil mengucek-ucek matanya, langsung menghampiri Lyra dan duduk di sampingnya.     

"Tidak bisa tidur?" tanya Lois lirih.     

Lyra hanya menggeleng pelan.     

Mengusap wajahnya, Lois pun berucap, masih dengan nada lirih, "Kasihan dia. Dia itu orang biasa dengan hati yang bersih. Tidak seharusnya dia mendapatkan yang seperti ini."     

Menit-menti berlalu, Lyra masih terdiam. Menghela napas, Lois pun kembali berbicara, "Kalau boleh aku bertanya, tadi kamu itu ikut menangis karena kematian Kacia, atau karena melihat tuanmu yang menderita seperti itu? Atau malah dua-duanya?"     

Lyra menoleh kepada saudari angkatnya itu. "Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu itu."     

"Tidak masalah." Lois mengangkat bahu. Ikut memandang ke pintu kamar Rava. "Menurutmu, sampai kapan dia akan seperti itu? Ataukah dia akan seperti Marcel yang akhirnya cuma bisa berdiam diri meratapi apa yang terjadi?"     

"Dia akan bangkit," jawab Lyra, tanpa keraguan sedikit pun. "Dia itu kuat. Dia cuma tidak menyadarinya saja. Sejak dulu, dia sudah terbiasa dengan yang namanya penderitaan."     

Lois menghela napas panjang. "Aku harap perkataanmu itu benar. Kita masih harus bertarung. Tanpanya, pertarungan kita tidak akan maksimal."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.