A Song of the Angels' Souls

121. Tuan Baru



121. Tuan Baru

Rava keluar dari kamarnya dengan langkah terhuyung. Matanya terasa begitu berat. Setelah penolakan dari Kacia semalam, dia sama sekali tidak bisa terlelap. Sekarang, tubuhnya lemas luar biasa. Didorong sedikit saja, dia mungkin akan terjungkal.     

Pemuda itu mendapati para bidadari yang berkumpul di ruang tengah, tampak sedang membicarakan sesuatu. Rava tanpa sengaja bertemu pandang dengan Kacia. Bidadari bertubuh mungil itu sedikit membelalak, segera membuang muka.     

Rava langsung tahu, semuanya tidak akan sama lagi di antara dirinya dan Kacia. Pemuda itu pun akhirnya ikut mengalihkan pandangannya.     

Dia bisa melihat Kacia, tetapi tidak bisa memilikinya. Pikiran itu membuat Rava merasa dirinya bisa menjadi gila. Ada yang hilang dari dirinya. Cepat atau lambat, Kacia akan pergi. Di dunia asalnya, Kacia mungkin akan melupakannya, barangkali mendapatkan cinta yang lain.     

Merasakan matanya memanas dan mulai mengabur, Rava memilih berjalan ke belakang rumah, melewati Kacia begitu saja tanpa menyapa sama sekali.     

Lois yang menyadari peristiwa itu pun mengangkat sebelah alisnya.     

"Terimakasih atas semuanya. Tapi, aku tetap akan pergi dari sini," ucap Mireon dengan ekspresinya yang nyaris datar itu, duduk di salah satu sofa.     

"Alasannya karena kami kelihatan tidak ingin bertarung melawan bidadari, tetapi kamu masih ingin bertarung, kan?" tanya Lois, menyenderkan punggungnya ke sofa. "Memangnya, apa keinginanmu?"     

Menit-menit berlalu, tetapi Mireon tetap pada posisinya, jelas sekali tidak berniat memberikan jawaban.     

Lois menarik napas secara berlebihan. "Berbicara denganmu benar-benar melelahkan, Mireon. Aku mengira Lyra itu pelit bicara, ternyata ada yang lebih."     

"Aku bukan Ione yang akan memintamu bergabung. Kalau mau pergi, pergilah," ucap Lyra dingin.     

"Tapi, memangnya kamu mau ke mana? Bagaimana kamu bisa bertahan tanpa adanya tuan?" tanya Kacia, mendekati Mireon.     

Lois sedikit terkekeh. "Huh, kamu rela Rava mendapat bidadari lagi, Kacia? Sungguh mengejutkan."     

Kacia pun mengalihkan pandangan dengan wajah sendu. Lois kembali mengangkat sebelah alisnya.     

"Tungguuuuu!!!" Tiba-tiba, mereka mendengar suara pintu masuk yang menjeblak terbuka. Etria memasuki rumah dengan kecepatan tinggi, membawa seseorang yang diikat di pundaknya. "Kita tidak bisa membiarkan Rava menambah bidadari lagi!"     

Semua yang ada di ruangan itu mematung saking terkejutnya. Etria pun melemparkan orang yang dibawanya ke lantai begitu saja, seperti seonggok kayu yang tidak berguna.     

"Hmph! Hmph! Hmph! Hmph!" Orang tersebut, yang ternyata pria berkulit sawo matang dengan lengan penuh tato, menggeliat-geliat liar. Dia tidak bisa berbicara karena mulutnya disumpal tisu begitu banyak.     

"Namanya Jamu, seorang tuan yang tidak memiliki bidadari, Mireon," jelas Etria dengan nada antusias yang berlebihan. "Kamu bisa menjadi bidadarinya dan memanfaatkannya sesuka hatimu."     

Lois pun terkekeh mendengar kata-kata Etria, sementara yang lain cuma memandangi Janu. Mereka jelas kebingungan mau menanggapi seperti apa. Janu memberikan pandangan protes kepada Etria. Namun, begitu Mireon mendekatinya, dia malah membatu. Pandangannya melebar.     

Mireon berjongkok, melepas sumpalan di mulut Janu.     

"T-ti .... T-ti .... T-ti ...." Mulut Janu terlihat begitu gelagapan.     

Kacia ikut mendekati Janu. "Errrr .... Sepertinya kurang bijak kalau memaksanya begini ...."     

Gadis bertubuh mungil itu belum selesai bicara, tetapi Mireon keburu mengangkat tubuh Janu.     

"Terimakasih. Aku pergi dulu." Setelah mengatakan hal itu, Mireon melesat begitu saja, meninggalkan semuanya.     

"Eh?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Kacia.     

Etria merentangkan kedua tangannya. Wajahnya sangat sumringah. "Hore, kita akhirnya bisa menyelesaikan masalah ini! Rava tidak jadi punya bidadari baru!"     

Lois mendesah begitu panjang. "Tapi, itu artinya kita menambah musuh satu lagi. Mireon sepertinya benar-benar ingin memenangi pemilihan ratu ini. Aku yakin, dia tidak akan pikir panjang untuk menyerang kita."     

Sendi-sendi tubuh Etria seolah langsung mengeras. Posenya jadi sangat aneh, seperti campuran akan melompat dan kaget.     

"Yah, salahku juga sih tidak mengingatkan kalian. Aku terlalu menikmati perilaku kalian. Kalian juga tidak berpikir jernih karena terlalu takut Rava dapat harem lagi," lanjut Lois.     

"Aku akan menyusulnya," ucap Kacia, akhirnya berlari ke luar rumah.     

***     

"K-kamu beneran bukan Tina?" tanya Janu yang masih ada di tangan Mireon. Pemuda itu merujuk kepada perempuan yang dulu dicintainya.     

Untuk kesekian kalinya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Janu, Mireon masih tak menjawab. Bidadari itu fokus melompat dari atap rumah satu ke atap rumah lainnya.     

"Tungguuuu!!!" Suara Kacia terdengar dari belakang Mireon, agak jauh darinya.     

Mireon hanya sekilas menoleh ke belakang dan tetap melanjutkan lompatan-lompatannya.     

"Buat ikatan kontrak denganku," pinta Mireon.     

Janu tercekat. Ia memejamkan mata. Gigi-giginya merapat. "Nggak. Udah cukup. Aku emang b*ngs*t. Aku ini preman. Tapi, aku nggak akan berbuat sesuatu yang sampai ngebunuh orang. Dia itu bidadari Rava. Aku emang nggak terlalu deket sama Rava, tapi kita sering ketemu di pasar kuliner."     

Akhirnya, Mireon mendarat di sebuah lapangan tenis yang kosong. Ia menjatuhkan Janu yang masih terikat ke lantai lapangan itu. Janu pun cuma bisa mengaduh karena pantatnya mendarat keras di lantai beton. Tak berapa lama kemudian, Kacia ikut mendarat di sana.     

"Kamu boleh saja menjalin kontrak dengan Janu, tetapi kusarankan kamu jangan memaksanya," ucap bidadari bertubuh mungil itu dengan nada hati-hati, berjalan mendekati Mireon. "Tapi, setelah itu aku mohon dengan sangat, janganlah menjadi musuh kami. Janganlah membunuh bidadari lain, lebih baik kita gunakan kekuatan kita untuk membasmi monster ...."     

Kacia tercekat saat Mireon mengaktifkan baju tempur dan senjata. Tak punya pilihan lain, Kacia pun memakai busana tempurnya, sekaligus memunculkan busur panahnya.     

"Kita masih bisa membicarakan ini, Mireon," desak Kacia. Kendati berkata seperti itu, dia tetap waspada. "Kami di sini siap menyambutmu kapan saja."     

Mireon berbalik, langsung berlari menerjang dan mengayunkan senjatanya. Kacia pun menangkis dengan busur panahnya.     

"Mireon, aku mohon pikirkan lagi." Kacia kembali menangkis serangan yang datang. Dia dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Karena terburu-buru mengejar Mireon, dia lupa membawa ponsel. Dia tidak bisa menghubungi yang lain.     

Lagi-lagi tak punya pilihan, Kacia melompat mundur dan melesatkan panahnya. Bukan untuk menyakiti, tetap demi membuka celah agar dirinya bisa kabur.     

Mireon pun menghalau panah itu dengan kapaknya, kembali menyerang. Pertarungan sengit pun terjadi. Jumlah serangan mereka begitu seimbang. Namun, panah dan tebasan busur Kacia belum ada yang bisa mengenai Mireon. Begitu juga Mireon, serangannya selalu bisa ditangkis atau dihindari.     

"Hei kamu! Kamu yang baju hitam! Kalau kamu tetap kekeuh mau bertarung dengannya, aku nggak mau jadi tuan kamu!" bentak Janu sekuat tenaga.     

Mireon menghentikan ayunan kapaknya, yang nyaris sekali menyambar pinggang Kacia. Kacia pun segera meloncat mundur, menonaktifkan senjata dan baju tempurnya, kemudian mengangkat kedua tangan.     

Masih tak berbicara, Mireon menghampiri Janu, kembali membopong pria itu. Melirik kepada Kacia dengan ekspresi yang masih datar, ia berucap pelan, "Ini belum selesai."     

Kemudian, bidadari dengan baju hitam itu itu melompat pergi. Kali ini Kacia menahan diri untuk tidak menyusul. Barangkali Mireon butuh waktu. Kalau nanti bertemu lagi, Kacia berjanji pada dirinya sendiri untuk membujuk Mireon kembali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.