107. Jalan-jalan
107. Jalan-jalan
Etria menyedot ingus yang ada di hidungnya. Matanya sudah begitu berkaca-kaca. "S-soalnya, bakpau mini yang kubuat itu bentuknya imut .... Tapi, harus dijual, dan nantinya digigit .... Jadi hancur."
Sedikit terkekeh, Ione menepuk pundak rekannya itu. "Sudahlah, namanya juga makanan. Yang penting kan, bakpau bikinanmu itu laris manis. Anak-anak suka sekali. Bu Sinta pasti senang."
Menahan air matanya, Etria mengecek ponselnya, memerhatikan foto bakpau-bakpau yang tadi dihiasnya. Ada yang berbentuk kepala panda, beruang, kucing, dan kelinci. "Hiks."
Ione lalu menoleh kepada Lyra yang duduk sendirian di meja pengunjung, tidak terlalu jauh dari lapak. Sejak berangkat ke pasar kuliner, sampai sekarang dagangan nyaris habis, Lyra terus saja merenung.
"Saudaramu itu kenapa?" tanya Ione kepada Lois. "Dari tadi dia begitu terus, sampai tidak sadar ada pembeli datang. Berkali-kali kita harus menyadarkannya."
Lois mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Tidak biasanya dia seperti itu."
Seperti biasa, beberapa lelaki mengajak bidadari itu bicara. Alih-alih berkata sadis atau mengusir mereka, Lyra tetap saja membisu.
Lois pun keluar dari lapak, mendekati saudari angkatnya dari belakang, sementara para lelaki itu masih belum menyerah dalam menggoda Lyra.
"Kenapa melamun!" Lois menangkap kedua buah dada Lyra dari belakang.
"Ahnnn ...." Lyra tak kuasa menahan desahannya lolos dari mulut. Lois meremas kedua asetnya itu, juga menggerakannya ke atas ke bawah, serta kanan dan kiri. Semakin lama, Lois semakin intens melakukannya. Para lelaki yang ada di situ pun memerhatikan dengan mulut melongo, seperti ada pertunjukan yang menarik.
"Bagaimana, kamu menikmatinya, kan? Ingin Rava yang melakukannya padamu?" ledek Lois, terkekeh-kekeh puas.
"Hen ... Ti .... Kan ...." Muka Lyra mulai merona merah. Sensasi dari remasan Lois seolah mengalirkan listrik ke sekujur tubuhnya. "Hentikan!"
Dug! Lois terhentak karena sikutan keras sang saudari angkat ke perutnya. Lyra pun memberikan tatapan galak kepada para lelaki, yang langsung kabur tanpa mengatakan apa pun. Di lapak, Ione terbahak-bahak, Etria masih meratapi bakpaunya, dan Stefan terus bertanya apa yang terjadi.
"Kamu memikirkan Rava yang lagi-lagi pergi dengan Kacia, ya?" tanya Lois, mengelus-ngelus perutnya yang nyeri, duduk di samping saudari angkatnya. "Padahal, secara fisik kamu di atas Kacia segala-galanya. Kamu juga sudah sering membuka tubuhmu, tetapi Rava masih tidak memilihmu."
Lyra memejamkan matanya, terlihat kesal. "Bukan itu."
"Kamu memikirkan apa yang Rava katakan kemarin?" Lois mendesah pelan. "Ya, dia memang ada benarnya, tapi menurutku kita juga tidak salah. Kita ingin mencegah Medora melakukan kejahatan lagi."
"Seperti yang guru kita pernah bilang, tidak ada kebenaran absolut," timpal Lyra lirih.
Bukannya menyadarkan Lyra, Lois malah memangkukan kepalanya dengan tangan, ikut melamun.
"Dasar, mereka sama saja," desis Ione.
Stefan yang kini menjejeri Ione pun sedikit menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak setuju dengan Lyra. Apa pun alasannya, mengambil nyawa orang lain itu perbuatan yang salah. Titik."
Ione mendengus. "Jangan bahas ini lagi, deh. Dari kemarin, kita sudah kebanyakan berdebat."
Seorang pengunjung lelaki berambut nyaris plontos, bertubuh jangkung dan berwajah bule, dengan mata hijau serta hidung mancung, mendatangi lapak para bidadari. Seorang wanita dengan wajah asia tulen dan rambut sebahu tampak membuntutinya. Wanita dengan gaun santai selutut warna abu-abu itu tampak tak tertarik dengan makanan di lapak dan justru sibuk menyedot susu kocok coklat di tangannya.
"Maaf, tinggal ada ini," ucap Ione ramah.
Si pengunjung pria balas tersenyum kepada Ione, kemudian mengambil makanan yang tersisa dengan capit dan memasukannya ke plastik. Setelah membayar, dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun.
Tiba-tiba, Janu muncul dengan berlari. Ia berhenti di lapak, memandang si pria bule dan pendampingnya yang sudah berjalan cukup jauh. Pemuda itu sudah membuka mulut, jelas sekali ingin memanggil mereka. Namun, dia menahan diri, memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Kamu kenapa, Janu?" tanya Ione, mengerutkan kening.
"Bukan apa-apa." Janu menelan ludah, berjalan kembali ke tempat parkir.
***
Sambil terus berjalan menjauhi pasar kuliner, Aiden menggigit tahu isi yang baru dibelinya dari lapak para bidadari.
"Jadi bagaimana? Menurutmu, mereka itu bidadari, bukan?" tanyanya.
Mireon menyedot minumannya. "Mana aku tahu."
"Padahal, aku hampir tidak tidur mencari info tentang mereka dan menemukan berita viral tentang lapak jualan itu. Tapi, kamu malah diam saja di sana, tidak mengofrontasi atau sekedar bertanya." Aiden mengangkat bahu sambil tersenyum penuh arti. "Yah, kesan awal yang kudapatkan memang kamu tidak banyak bicara. Bahkan, sampai sekarang kamu tidak bertanya apa kesalahanku sampai harus dipenjara."
"Itu tidak ada relevansinya denganku," timpal Mireon datar.
"Tapi, kamu bertanya tentang namaku. Yah, setiap orang selalu penasaran dengan nama asliku, sih."
Mireon lagi-lagi tak menanggapi, sibuk menghabiskan minumannya. Aiden pun melebarkan senyumnya.
"Kamu itu unik sekali, ya? Aku tidak pernah bertemu orang seperti kamu, Mir," ujar pria itu, terkekeh pelan.
"Selamat sore, Aiden, Mireon." Satu sosok Piv menghadang keduanya. "Maaf mengganggu jalan-jalan kalian, tetapi ada monster yang muncul tak jauh dari sini. Kali ini kalian akan melawan mereka sendirian. Kalau mulai terdesak, pihak atas baru akan memanggil bidadari yang lain."
Mireon cuma memandang sosok mungil itu, terus saja menyedot minumannya, yang berkurangnya sedikit-sedikit sekali, sehingga tidak kunjung habis sedari tadi.
"Kenapa begitu, Piv?" tanya Aiden.
"Pihak atas ingin mengamati pertarungan Mireon. Dia ini begitu menarik perhatian mereka."
Aiden sedikit manggut-manggut. "Begitu, ya. Aku juga jadi penasaran ingin melihat Mireon bertarung."
Mireon mengedarkan pandangan sejenak. Setelah yakin tak ada orang di jalanan yang mereka lalui, ia menyodorkan gelas plastik minumannya kepada Aiden. Dia sudah akan mengaktifkan baju tempurnya, sebelum akhirnya Aiden berkata, "Tidak usah. Aku tidak akan membiarkan wanita secantik dirimu repot-repot menggendongku."
Asap hitam yang mulai menyelimuti tubuh Medora pun lenyap. Ia lantas memandangi tuannya dengan ekspresi yang lagi-lagi sangat datar.
"Seharusnya, sekarang kamu bertanya kita berangkat ke sana memakai apa." Aiden masih tersenyum, mengembalikan minuman Mireon, mengeluarkan satu utas kawat dari jaket hoodienya, kemudian mendatangi sebuah mobil sedan tua berwarna putih yang terparkir di dekat situ. Ia pun menggunakan kawat di tangannya untuk mengutak-ngatik pintu mobil tersebut. "Maaf, aku terpaksa mencuri lagi. Yah, setelah keluar dari penjara, aku tidak punya apa-apa."
Hanya dalam waktu beberapa detik, pintu mobil itu terbuka. Ia pun membukakan pintu satunya, mempersilahkan Mireon masuk. Mireon sempat tercenung sejenak, tetapi tetap duduk di kursi depan mobil itu.
"Aah, aku lega. Sepertinya kamu tidak apa-apa kalau aku mencuri lagi." Aiden terkekeh, duduk di kursi kemudi, kemudian mulai mengutak-ngatik stop kontak mobil itu dengan kawat. Dalam waktu singkat mesin mobil itu menyala. Piv pun melompat ke dasbor, bersiap memberi petunjuk jalan.
"Aku sudah tidak sabar melihat bentuk dari monster yang Piv ceritakan." Aiden pun mulai melajukan mobil, tak memedulikan seorang lelaki yang keluar dari sebuah rumah dan berteriak-teriak keras, memanggilnya sebagai maling.