104. Cinta Gila 2
104. Cinta Gila 2
Ione dan Lois pun balas menyerang, tetapi dengan mudahnya Zita bisa menangkis mereka dengan perisai. Ia lalu menangkap dan melemparkan tubuh Ione jauh-jauh. Begitu Ione mendarat di aspal, Zita menerbangkan perisainya. Ione pun harus menghindari perisai itu.
Sementara Ione sibuk menghadapi perisai yang terus mendatanginya, Zita memberikan kombinasi pukulan kepada Lois. Lois yang tak bisa mengelak cuma bisa mundur setiap pukulan itu mengenai pipi atau perutnya.
"Rasakan ini, dasar wanita jalang!" Kembali berlinang air mata, Zita memberikan uppercut ke dagu Lois, membuat lawannya itu terhuyung. "Ini untuk Varyaku! Bisa-bisanya kamu membunuhnya!? Kamu tidak tahu betapa rindunya aku kepadanya!?"
Agak jauh dari sana, Kacia yang baru saja memindahkan tubuh Lyra ke tempat yang lebih aman pun mulai membidik Zita. Akan tetapi, begitu Kacia melepaskan anak panah, Zita menghindar. Kacia mengulanginya sampai beberapa kali dan Zita tetap saja bisa mengelak.
Setelah mengamati situasi, Rava yang berlutut di samping Lyra dan Stefan pun memutuskan untuk mengaktifkan kekuatan ketiga Kacia.
Kacia melepaskan panahnya ke udara. Panah itu pun meledak dan memberikan hujan pita kepada Zita. Akan tetapi, perisai Zita sudah kembali kepada pemiliknya. Zita pun melindungi dirinya dengan berjongkok dan melindungi kepalanya dari perisai.
Saat itulah, rapier Lois diselimuti cahaya merah, langsung memanjang ke arah jantung Zita. Sayangnya, itu pun masih tak berarti apa-apa. Hanya dengan bergeser sedikit, Zita berhasil menghindari serangan itu, meski salah satu buah dadanya tetap tertusuk.
Dia tetap tak mengaduh, ekspresi bengisnya masih terlihat, dan air matanya masih mengalir deras.
Tak mau menyerah, Lois memberikan isyarat kepada Rava. Sosoknya pun berubah menjadi dua. Dia berlari menyerang, diikuti dengan Ione dan Kacia.
Dan Zita pun memukul aspal dengan perisainya, menimbulkan rangkaian retakan besar-besar. Kaki Kacia dan Lois terperosok cukup dalam ke dalam retakan, bahkan tubuh Ione sampai terperangkap setengahnya. Kembaran Lois lebih parah lagi. Hanya kepalanya saja yang terlihat.
Di tengah gempa, Rava gelagapan untuk menggeser Stefan dan Lyra agar tidak masuk ke retakan. Untung saja, rangkaian retakan itu tak ada yang mencapai mereka. Yang sial adalah Etria. Dia yang sedari tadi bersembunyi berusaha menghampiri tuannya, tetapi malah terperosok dengan posisi kepala di bawah.
"Tolooong!!!" pekiknya dengan suara yang teredam bumi. Kedua kakinya yang mengangkang pun berkelojotan di udara.
"Uugh ...." Lyra mulai tersadar. Dia memegangi bagian belakang kepalanya, langsung berusaha bangkit.
"Pelan-pelan, Lyra," ucap Rava, membantu menyangga bidadarinya itu. "Benturan yang kamu dapatkan cukup keras."
Melihat rekan-rekannya terperangkap seperti itu, Lyra memaksakan dirinya bangkit, kendati agak sempoyongan.
Alih-alih mulai menghabisi musuh-musuhnya, Zita justru mematung di tempatnya kembali. Kepalanya menunduk dalam-dalam dan kedua tangannya terkulai ke bawah lagi.
Lois berusaha membebaskan kakinya yang bagaikan digenggam erat oleh bumi. Sekarang dia tahu, kekuatan Zita itu bukan sekedar membuat gempa. Selama ini, bidadari sinting itu tidak menunjukkan semuanya.
Lyra melompat-lompat di antara retakan-retakan, menerjang ke arah Zita dengan kedua pedangnya. Namun, Zita berhasil menangkap kedua tangan bidadari itu, kemudian memelintirnya ke bawah.
Kalah tenaga, Lyra tak bisa melakukan apa pun. Perlahan-lahan, dia terpaksa berlutut. Zita pun memandanginya. Tak ada lagi ekspresi bengis. Zita justru terlihat tidak bersemangat, seperti tak ada yang menarik untuknya lagi di situ. Kendati demikian, air matanya terus saja mengalir.
Lois memberi isyarat kepada Rava. Rava pun tersentak. Itu isyarat untuk mengaktifkan kemampuan berpindah tempat. Kemampuan tersebut biasa disimpan untuk melarikan diri di saat-saat genting. Tadinya Rava ingin bertanya kenapa Lois ingin menggunakannya sekarang. Namun, melihat kondisi bidadari-bidadari lain yang terdesak, barangkali itu adalah pilihan terbaik. Mereka sedang tidak dalam posisi bisa berkumpul untuk melarikan diri.
Lois pasti sudah merencanakan sesuatu dengan kekuatannya itu.
Akhirnya, Rava mengangguk dan memencet tanda yang dimaksud. Lois pun langsung menghilang dan muncul begitu saja di belakang Zita.
Zap! Lois menusukkan rapiernya ke punggung kiri Zita sampai menembus ke depan.
Seketika saja, Zita melepaskan pegangannya dari tangan Lyra. Mulutnya pun memuncratkan darah.
"Sayang sekali." Meski begitu, Zita masih bisa berbicara, bahkan tertawa keras. "Ahahahaha!!! Ahahahaha!!!"
Lois menarik rapiernya. Zita terhentak dan jatuh berlutut. Darah merah nan segar mulai merembes di dada dan punggungnya.
"Betul, sayang sekali." Tiba-tiba saja, satu sosok Piv datang entah dari mana, meloncat-loncat di antara retakan-retakan.
Semua mata yang ada pun tertuju kepada sosok bulat dengan bulu putih itu.
Piv berhenti di dekat Zita, kemudian berkata, "Zita ini sebenarnya sudah mati. Dia dibangkitkan lagi oleh pihak atas, tetapi tanpa jantung."
Semua yang ada di situ pun membelalakkan matanya, kecuali Piv dan Zita tentunya.
Rava tak mempercayai pendengarannya. Apa ucapan Piv itu benar adanya? Kalau benar, maka mereka semua tidak dalam posisi yang menguntungkan.
"Pihak atas menggunakan alat pengganti untuk memompa darah dalam tubuh Zita. Alat itu letaknya bukan di dada kiri Zita," lanjut Piv lagi.
Lois terhuyung ke belakang. Kakinya seolah kehilangan energi. Ia pun jatuh terduduk dengan wajah putus asa. Beberapa saat yang lalu, dia sudah merasa menang, tetapi berita itu membuyarkan semuanya.
Lyra melompat untuk menjauhi Zita. Zita pun bangkit berdiri dengan tubuh tegak, seolah ingin menunjukkan luka di dada kirinya itu tak memberi dampak apa pun.
"Aah, tapi ini semua membosankan," gumam Zita dengan nada tidak bersemangat. "Setelah bertemu Varya, bertarung dengan kalian jadi tidak menarik lagi. Varya memang berbeda."
Mendadak, Zita melompat dari sana, menyambar Bagas dan pergi begitu saja. Para bidadari tidak ada yang berusaha menyusulnya. Mereka cuma melihat bidadari berbusana kuning itu semakin menjauh.
Mereka tahu, kalau mengejar, kemungkinan besar nyawa merekalah yang terancam. Bila Zita tidak pergi, mereka juga pasti akan dibantai. Barangkali, yang terjadi sekarang adalah skenario terbaik.
"B*j*ngan! B*j*ngan! B*j*ngaaan!!!"" Ione yang tubuhnya masih saja terperangkap di retakan pun memukul jalanan aspal dengan kedua tangannya. "Kenapa seperti ini terus!? Kenapa kita selalu gagal menghabisinya!? Kenapa usaha kita sia-sia belaka!?"
Lyra menghampiri Piv dan mengambilnya dengan kasar.
"Hei, apa kamu masih tidak mau menjawab kenapa pihak atas yang kita hormati itu malah membangkitkan orang sinting seperti Zita?" tanya Lyra, mengeraskan cengkramannya kepada makhluk mungil itu.
Piv pun berontak. Tangan-tangannya yang kecil berusaha melepaskan jari-jemari Lyra, sementara kakinya yang juga mungil tampak berkelojotan. Namun, usahanya itu tidak berguna sama sekali. "Bukan wewenangku memberitahu alasan pihak atas kepada kalian."
Lyra meremas makhluk itu sampai hancur seperti jeruk, memuncratkan darah ke mana-mana. Tanpa menunjukkan penyesalan sedikit pun, Lyra menjatuhkan mayat Piv itu begitu saja.
Memandangi sosok Piv yang nyaris tak berbentuk itu, Lyra berucap dengan nada dingin. "Ternyata, kalau untuk makhluk seperti dia, aku masih bisa membunuhnya."