A Song of the Angels' Souls

134. Di Pemberhentian Kereta



134. Di Pemberhentian Kereta

"Nghhh .... Ahnnn .... Nghhh .... Ahnnn ...."     

Janu berusaha tetap konsentrasi dan terus melakukan latihan kombinasi pukulannya di halaman belakang rumah.     

"Nghhh .... Ahnnn .... Nghhh .... Ahnnn .... A-aku, tidak kuat lagi." Mulut Etria mengeluarkan erangan dan desahan tertahan. "Nghhh .... Ahnnn .... Nghhh .... Ahnnn ...."     

"Hei, kita belum mencapai target, loh," ucap Lois yang duduk di punggung Etria.     

Etria mati-matian melanjutkan push-upnya yang kesekian. "Nghhh .... Ahnnn .... Kyaaahhh ...."     

Janu sudah tidak tahan lagi. Berkali-kali dia salah mengambil gerakan gara-gara erangan dan desahan yang seperti keluar dari orang bercumbu itu. Akhirnya, pemuda itu menghentikan latihannya.     

"Kenapa suaranya harus begitu, sih!" amuknya, menunjuk Etria, yang memakai baju terbuka yang banyak menunjukkan kulitnya. Kulit yang berkilau karena tetesan keringat. "Terus, kenapa pakaiannya begitu!? Kenapa cuma pake bh sama sempak doang!"     

"Ini bra dan celana olahraga, bukan pakaian dalam, kok. Jadi aman," sahut Lois santai     

"Ahhhnnnn ...." Etria melakukan push up terakhir, sebelum akhirnya ambruk. Keringat yang membasahi tubuhnya sudah begitu banyak. Alih-alih seperti orang yang baru olahraga, ekspresinya malah seperti orang yang sudah mencapai klimaks, diperparah dengan tarikan napas putus-putusnya yang secara ajaib terdengar erotis.     

Lois terkekeh melihat wajah Janu, yang dipenuhi kemurkaan. "Kamu tidak bisa konsentrasi karena terangsang dengan Etria?"     

"Nggak gitu!" hardik Janu, kekesalannya makin memuncak. "Gue tahu halaman belakang ini emang sempit, jadi kita harus latihan deket-deketan. Tapi, bisa nggak olahraganya pakai suara normal aja! Jangan kayak orang lagi ngew ...."     

"Bisakah kamu kecilkan suaramu itu, Janu? Aku sedang berusaha tidur," celetuk Mireon.     

Janu menoleh kepada bidadarinya itu. "Elu juga! Kenapa tidur di tempat begitu!"     

Di sudut halaman sempit berpagar dinding beton tinggi dan berlantai semen itu, Mireon memang berbaring sembarangan. Seperti biasa, dia menautkan jari-jemarinya dan menaruh kedua telapak tangannya ke dada.     

"Aku ingin berjemur," jawab Mireon lugas.     

"Nghhh .... Ahnnn .... Nghhh ...."     

Janu kembali menatap Etria, yang kini melakukan sit up. Dada bidadari itu kini bergerak sesuai dengan irama sit upnya.     

Awalnya Janu akan marah-marah lagi, tetapi dia menyerah. Masih dengan wajah jengkel, pemuda itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, berpikir lebih baik latihan di kamar saja.     

"Loh, mau ke mana Janu? Latihan kamu memangnya sudah?" tanya Lois.     

Janu mendengus keras. "Bodo!"     

"Kenapa kamu seperti Rava yang menolak keindahan, Janu? Sebagai mentor Etria, aku mengizinkanmu untuk menikmati keindahan tubuhnya!" seru Lois, membuat Etria menutupi kedua aset dadanya dengan tangan. Muka bidadari itu juga langsung dihiasi warna merah.     

Janu hanya memberikan jari tengah.     

"Kyaaaa!!!"     

Mendengar suara pekikan dari dapur itu, semuanya tercenung untuk sedetik, sebelum akhirnya berlari ke sana. Begitu sampai, mereka menemui Lyra yang kepalanya sudah tertutupi baskom logam. Tepung dalam baskom itu juga sudah melumuri tubuhnya, sebagian lagi tercecer di lantai. Ibu Rava mengamati hal itu dengan menutup mulutnya.     

"Errr .... Kamu kenapa, Lyra?" tanya Lois, menahan tawa.     

Dengan gerakan luar biasa kaku, Lyra yang wajahnya nyaris berwarna putih seluruhnya itu pun menoleh kepada sang saudari angkat. "Tanganku terpeleset."     

"Kepleset!?" Janu mulai marah-marah lagi, masih terbawa emosi dengan kejadian di halaman belakang. "Gimana logikanya kepleset bisa sampe ke kepala!?"     

"Ibu juga bingung mau ngejelasin bagaimana." Ibu Rava menghela napas, sedikit terkekeh. "Tapi, sepertinya kamu sedang nggak bisa konsentrasi, Lyra. Sementara ini, kamu istirahat dulu, ya."     

Lyra mengangguk, mengambil baskom di kepalanya dan menaruhnya di meja, kemudian berjalan cepat meninggalkan dapur itu. Menyadari sesuatu, Lois pun menyusul.     

"Apa ini karena Rava dan Kacia yang sedang pergi bersama?" tanya Lois saat Lyra sudah mengambil handuk di dekat kamar mandi. "Tidak biasanya kamu ceroboh begitu."     

"Mereka beberapa kali juga pergi bersama, kok," timpal Lyra datar, terus membelakangi Lois.     

Lois sedikit mengangkat bahu. "Tapi, ini berbeda. Kurasa, mereka akhirnya mengakui perasaan masing-masing."     

Tak menjawab, Lyra masuk ke kamar mandi.     

***     

Rava menghentikan sepeda motornya di lahan parkir stasiun kota. Kacia pun melepaskan helmnya dan turun, langsung memandangi bangunan stasiun yang memanjang, dengan atap merah dan bagian depan dihiasi pilar-pilar.     

Rava pun ikut turun. Bukannya ikut memandangi gedung stasiun, dia malah mengamati penampilan Kacia. Dengan dress santai biru dan jaket gelap, make up tipis yang menghias wajahnya, gaya rambut kuncir setengah, serta aroma yang sungguh wangi. Kacia tampak begitu berbeda di mata Rava, jauh lebih rupawan dari biasanya.     

"Kamu kenapa, Rav?" tanya Kacia, keheranan.     

"Kamu hari ini cantik banget, Kacia," ceplos Rava. Ia pun tercenung. Lama-lama wajahnya memerah. Dia lalu membuang muka, begitu salah tingkah. Bisa-bisanya kata itu lolos dari mulutnya?     

Kacia juga tampak kebingungan. Dia memegangi tali selempang tas kecilnya. Dengan muka yang juga merona, dia berkata lirih, "Terimakasih. Etria yang melakukan ini kepadaku."     

"Begitu-begitu dia ternyata bisa dandanin orang, ya?" kekeh Rava, berusaha bersikap biasa.     

Rava sudah akan mengajak Kacia mendatangi stasiun. Namun, pandangannya menangkap seorang pria gempal yang dikenalnya. Seseorang yang dulu pernah menawaraninya pekerjaan. Rudi, berjalan sendirian dengan tas besar di punggung.     

"Cih!" Rudi berdecak sebelum Rava sempat menyapa, kemudian mempercepat langkahnya menuju stasiun.     

Rava memandangi punggung temannya itu menjauh, lantas menatap Kacia, yang balas menatapnya. Keduanya pun tertawa bersama.     

"Yuk, ke sana." Rava menunjuk ke gerbang stasiun. "Sayang, kamu nggak punya ktp, jadi nggak bisa masuk peron."     

Kacia menggeleng pelan. "Merasakan suasana stasiun saja sudah menyenangkan, kok. Toh, nanti aku bisa melihat dari pintu masuk peronnya."     

"Hmmm .... Abis duduk-duduk di dekat loket, kita muter aja nyari tempat yang bisa lihat kereta dengan lebih jelas."     

Jalan-jalan di stasiun. Tak pernah terpikirkan oleh Rava bahwa dirinya akan melakukan hal seperti ini bersama seorang wanita. Terdengar aneh memang, tetapi kalau dengan Kacia, Rava tentu tak akan menolak.     

Kacia mengangguk semangat, melebarkan senyumnya. "Begitu juga boleh, sih ...."     

Bidadari bertubuh mungil itu tiba-tiba terhenyak hebat. Tubuhnya pun sedikit menggigil. Tak mengerti, Rava pun menengok ke arah yang dilihat Kacia.     

Ibu-ibu yang biasa menjodoh-jodohkan Kacia dengan anaknya tampak sedang turun dari mobil.     

"Kita pergi, Rava!" Kacia pun menarik tangan Rava.     

"Eh, eh, eh!" Rava hampir tersungkur karena Kacia menariknya begitu kencang. "Pelan-pelan, Kacia!"     

Bidadari mungil itu pun membawa Rava ke balik sebuah mobil, sangat jauh dari tempat ibu-ibu tadi. Rava pun ngos-ngosan. Seumur hidup, dia tidak pernah berlari sekencang itu. Kacia mengintip dari balik mobil untuk memeriksa, lantas menarik napas lega.     

Mata kedua insan itu bertemu kembali. Lagi-lagi mulut keduanya juga mengeluarkan tawa. Tawa yang begitu ringan.     

"Kayaknya, kamu lebih takut sama ibu itu daripada sama monster, deh," canda Rava, semakin memicu Kacia untuk tertawa. Kemudian, pemuda itu menengok ke atas, mengamati atap gedung stasiun. "Eh, kita masuknya lompat lewat sini aja."     

Kacia ikut mengamati atap gedung itu, celingukan untuk memeriksa keadaan, baru bertanya lirih, "Tidak apa-apa, nih?"     

"Yah, asal nggak ketahuan aja," kekeh Rava.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.