112. Kutukan
112. Kutukan
Dibantu oleh Ione, tangan Stefan mulai merambah punggung sang bidadari, memicu desahan pelan. Ione pun mulai menggerakan pinggulnya perlahan, kemudian memegangi wajah Stefan. Bibir keduanya pun bertaut, lidah mereka beradu, begitu basah dan panas. Tangan Stefan mulai bergerak ke bawah, mencengkram apa pun yang dapat digapainya.
Desahan dari mulut Ione makin lama makin intens. Gerakan pinggulnya juga makin kencang karena tangan Stefan yang memaksanya seperti itu. Tubuh bidadari itu lantas melengkung ke belakang. Matanya sudah dihiasi lapisan cairan bening.
Bukan. Itu bukan air mata kesedihan atau rasa sakit. Itu adalah air mata penuh kenikmatan menggelora.
Stefan seolah tidak punya keinginan untuk berhenti, terus saja menaik-turunkan tubuh Ione. Desahan Ione makin keras, seperti auman singa betina yang liar.
Stefan pun terkekeh puas. "Sudah kubilang, aku bakal mengimbangimu, wahai bidadariku."
Ione tumbang ke tubuh Stefan. Bidadari itu seperti kehilangan energi, padahal kalau melawan monster, dia kuat sampai berjam-jam. Meski begitu, Stefan tetap tidak berhenti.
"Stefan-ku .... Stefan-ku .... Ahnnn ...." Mata Ione memutar ke belakang, lidahnya terjulur, dan air liurnya menetes-netes ke dada sang kekasih.
Begitu mencapai klimaks, Ione seperti kehilangan suara. Tak ada lagi desahan, apalagi auman liar. Mulut Ione hanya mengeluarkan lengkingan kecil.
***
"Kamu tetap tidak bisa mengimbangiku, Stef," ujar Ione yang sudah berbaring di kasur, menyenderkan kepalanya ke pundak sang kekasih.
"Jadi, sedari tadi kamu cuma akting?" tanya Stefan yang sudah penuh keringat dan kehabisan napas, tetapi tetap tersenyum. "Walaupun nggak bisa melihat, tapi aku bisa merasakanmu, juga mendengarmu, Yon. Kamu itu kewalahan."
Ione tersenyum nakal. "Masalah akting atau tidak, itu kubiarkan sebagai rahasia saja."
Stefan terkekeh. Dia pun menggerakkan tangannya menuju sang kekasih. Ione pun membantu pemuda itu menyentuh rambutnya. Ya, kalau tidak dibantu, belum tentu tangan Stefan sampai ke tujuan.
"Apakah ini kutukan, Stef? Kamu, kakakmu, dan ayahmu semuanya mempunyai cinta yang begitu besar, sampai membuat hidup kalian menjadi tidak biasa," desah Ione pelan. "Dan mungkin aku juga seperti kalian."
"Well, selamat datang di keluarga Wiryawan." Stefan sedikit mencibir. "Barangkali itu memang kutukan. Tapi, untuk memastikannya, aku harus memeriksa sampai ke buyut-buyutku dulu, apa mereka juga terlalu dimabuk cinta t*i kucing."
Ione terkekeh pelan. Namun, itu hanya sebentar saja. Ia menarik napas dan membelai lembut dada sang kekasih.
"Kita akan baik-baik saja kan Stef?" tanya sang bidadari.
Kedua alis Stefan pun menaut. "Kenapa kamu nanya gitu?"
"Yah, walaupun kita berhasil merekrut Etria, tetapi aku tetap merasa semuanya stagnan saja. Aku merasa tujuan kita untuk bersatu dan membujuk pihak atas malah semakin menjauh .... Dengan kebangkitan Zita dan kedatangan Aiden .... Aah, maafkan aku, padahal aku sudah berjanji tidak akan membicarakan hal suram seperti ini setelah bercinta."
Stefan mengecup ringan kening sang bidadari. "Inikah yang membuat kamu akhir-akhir ini terdengar sedih, bahkan sampai jarang becanda? Inikah yang membuat kamu sampai putus asa dan hampir membunuh Medora."
"Begitukah? Aku berubah, ya?" Ione mendesah lagi. "Jadi ...."
"Ada apa, Yon?" tanya Stefan, menyadari kekasihnya itu tercekat.
Menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut, Ione turun dari dipan. Di hadapan Piv yang berdiri di sudut kusen jendela, ia berkata tajam, "Ada apa gerangan kau datang ke sini, wahai makhluk b*j*ngan yang tidak tahu arti privasi?"
"Aku meminta maaf telah mengganggu kalian berdua, tetapi pihak atas sudah merencanakan sebuah pertarungan antara dirimu dan bidadari bernama Mireon," jawab Piv.
"Memangnya, di mana lokasinya?" tanya Stefan yang juga baru turun dari ranjang.
"Di tempat yang sangat dikenal oleh kalian."
***
Mireon berdiri di lahan parkir pasar kuliner. Hari sudah nyaris tengah malam, sehingga tak ada manusia yang terlihat, kecuali Aiden dan bidadarinya itu. Motor atau mobil juga tidak ada yang terparkir di situ.
Karena penerangan yang dinyalakan sangat sedikit, beberapa Piv yang memendarkan cahaya pun dikerahkan. Awalnya Aiden tertarik dengan Piv-piv itu, bahkan sampai mengambilnya untuk diamati. Namun, lama-lama dia bosan. Ia pun menguap dan merapatkan jaketnya. Udara di malam itu cukup menusuk.
"Sepertinya, kontruksi fisik dari bidadari itu memang sangat berbeda dengan manusia. Padahal memakai baju yang atasnya cukup terbuka seperti itu, tetapi kamu terlihat tidak kedinginan," celetuk Aiden.
Sambil memegang kapak biolanya di tangan kanan, Mireon tetap pada posisinya. Bahkan sekedar menengok kepada sang tuan yang ada di belakangnya pun tidak ia lakukan. Mata bidadari itu—yang lagi-lagi tak menunjukkan gairah atau emosi berarti—terus saja terhujam lurus ke depan.
"Ah, lagi-lagi kamu tidak mau menjawab." Aiden mengangkat bahu, berjongkok sambil mengamati keadaan sekitar. "Sayang sekali tidak ada manusia di sini yang bisa kujadikan eksperimen. Apa kucari saja di tempat terdekat, ya?"
Kali ini, Mireon menoleh ke belakang. Pandangannya sedikit menajam, tertuju kepada sang tuan, yang cuma mengangkat kedua tangan sembari menyunggingkan senyum miring.
Tak berapa lama kemudian, Ione datang sambil menggendong Stefan, mendarat beberapa meter dari Mireon.
"Aku harus hati-hati, Rava bisa marah kalau lapak-lapak jualan di sini hancur," ujar Ione, sedikit memiringkan bibirnya.
Stefan melepaskan handsfree nirkabel di telinga kanannya. "Aku udah hubungi yang lain, seharusnya kita sampe barengan, tapi Rava dan bidadari-bidadari itu malah dihadang monster."
"Memangnya Rava sudah sehat?"
"Tadinya, aku cuma minta para bidadari aja yang datang ke sini, tapi Rava bersikeras ikut. Yah, dia juga sebenarnya udah keluar beberapa hari keluar dari rumah sakit, kan? Yah, semoga saja dia udah bener-bener bisa beraktivitas."
"Maaf, tapi ini perintah dari pihak atas. Setelah melihat pertarungan Mireon melawan monster, mereka ingin melihat bidadari itu menghadapi satu bidadari lain," ujar satu sosok Piv yang tadi ikut dengan Ione. "Kali ini, monster-monster yang menghadang para bidadari dikirim oleh pihak atas."
"Apa kamu bilang!?" Ione tercengang hebat.
Stefan mendesah lelah. "Tidak ada gunanya kita protes, Yon. Lebih baik kita konsentrasi mengajak Mireon saja."
Terdengar derap kaki pelan. Mireon mendekati pasangan itu, kemudian memasang kuda-kuda.
"Perkenalkan, aku Ione," sapa Ione, memberikan senyum ramah.
"Mireon," jawab bidadari berbusana hitam itu.
Stefan ikut memajang senyumnya. "Di sini, kami sebenarnya tidak ingin bertarung. Kami cuma ingin berbicara denganmu. Bisa minta waktunya sebentar?"
Mireon melepaskan kuda-kudanya, kembali ke posisi berdiri tegak dengan tangan kanan memegang kapak.
"Kami ingin mengajak kamu bergabung dengan kami. Tujuan utama kami adalah mengumpulkan para bidadari untuk bersatu dan tidak bertarung lagi," terang Ione, melebarkan senyumnya. "Kalau kita bersatu, pihak atas akan kebingungan karena pemilihan ratu ini jadi tidak berjalan dengan baik. Kemudian, kita akan membujuk mereka ...."
Ione menghentikan kata-katanya karena Mireon memasang kuda-kuda siap bertarung kembali.
"Kamu tipe yang kurang suka bicara, ya?" Ione berkacak pinggang, takjub dengan kelakuan Mireon itu. "Kamu mirip dengan seseorang yang kukenal, bahkan ekspresimu juga tak banyak menunjukkan perubahan, sama juga seperti dia. Hanya saja, kamu ini bisa dibilang lebih ekstrim. Dia masih bisa menjawab kalau ditanya, berbeda denganmu."
"Kita bertarung." Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulut Mireon.