144. Perjalanan Terakhir
144. Perjalanan Terakhir
"Menurutku, Lois itu emang kebangetan, sih," gumam Robin akhirnya, dengan nada hati-hati. "Aku tahu dia marah, tapi cara ngasih tahunya nggak begitu juga, dong."
Etria menggeleng pelan. "Aku tidak marah kepadanya. Barangkali, itu adalah bentuk perhatiannya kepadaku. Dia benar-benar ingin aku berubah."
Kedua alis Robin terangkat. Ia memilih untuk diam. Robin sekarang tahu, saat-saat seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk menasihati bidadarinya itu. Perasaan Etria sedang terguncang begitu dahsyat.
"Kamu mungkin berpikiran sama dengan Lois, Robin. Kamu mungkin menganggap aku ini bodoh, mempunyai keinginan yang terlalu tinggi. Tapi, sekali lagi, aku tak ingin orang-orang menderita. Aku ingin mereka bisa bertemu lagi dengan orang yang dicintainya. Aku tak ingin pemilihan ratu ini berlanjut," gumam Etria dengan bibir bergetar. "Apakah cita-citaku itu salah, Robin? Apakah aku ini jahat karena telah memegang teguh keyakinanku?"
Robin menghela napas. Barangkali menasihati panjang lebar tidak akan mempan. Namun, Robin berpikir, mungkin kata-kata pendek yang mengena justru bisa sampai kepada bidadarinya itu.
"Apa kamu sudah tahu cara mewujudkan keinginan itu, Et?"
"Aku akan berusaha semaksimal mungkin," jawab Etria pelan.
Pada akhirnya, Robin tidak bisa menahan diri lagi. "Setelah semua yang terjadi, setelah kamu luka berkali-kali, setelah melihat kemampuan bidadari-bidadari lain yang jauh di atasmu, apa kamu yakin tetap bisa menggapai mimpimu itu?"
Etria sudah menghadap Robin dan membuka mulut, hendak membantah. Namun, bidadari itu akhirnya justru menunduk dalam-dalam, tidak bisa merangkai kalimat yang tepat.
"Maaf, kalau kata-kataku ini nyinggung kamu." Robin menghela napas kembali. "Tapi, barangkali kamu harus benar-benar menerima kalau keinginan kamu nggak semuanya bisa tercapai. Kalau kamu terus begini, kamu malah yang bakalan menderita, Et. Aku nggak melihat hal ini bakal berakhir baik buat kamu."
Etria masih membisu. Air matanya kembali turun. Robin cuma bisa menggelengkan kepalanya pelan, lagi-lagi menghela napas.
Brug!
"Apa itu!" Etria mendongak ke atas.
Robin sedikit kehilangan kendali mobilnya. Suara dentuman dari atap mobil itu membuat konsentrasinya buyar.
Tiba-tiba, sebuah tangan memukuli jendela kaca di samping Etria menggunakan sebuah seruling. Etria pun berjengit hebat, refleks mengaktifkan baju tempurnya. Jendela itu pun mulai dihiasi retak yang sangat banyak, tetapi kacanya tidak langsung luruh.
"Ione," desis Robin, mulai mengendalikan mobilnya dengan ugal-ugalan supaya Ione terjatuh dari atap.
Pranggg!!!
Akhirnya, kaca jendela itu hancur berkeping-keping. Ione melongok dari jendela tersebut, langsung menarik tubuh Etria. Etria pun berusaha bertahan, tetapi Ione tetap berhasil mengeluarkan tubuhnya. Etria pun akhirnya terlempar keluar, terhempas ke aspal.
"Etriaaa!!!" pekik Robin, bisa melihat lewat kaca spion tubuh Etria dan Ione yang berguling-guling di aspal. Pria itu pun menginjak pedal rem keras-keras.
Ione langsung bisa berdiri tegak, sementara Etria harus melakukannya dengan sedikit susah-payah.
Tak berapa lama, sebuah mobil hitam pun berhenti di dekat kedua bidadari. Kemudian, Marcel pun keluar dari mobil itu. Robin pun turut keluar dari mobilnya, langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi yang lain.
Ctasss!
Akan tetapi, ponsel Robin keburu disambar oleh cambuk cahaya Ione. Ponsel itu pun terlempar jauh, terbanting keras dan bagian-bagiannya terlepas. Robin sudah berbalik, hendak memungut ponsel itu. Namun, tanpa disadarinya, Ione sudah berlari kencang ke arahnya.
Robin langsung rubuh tak sadarkan diri begitu tengkuknya dihantam keras oleh tangan Ione.
Setelah mengamati Robin sejenak, Ione berbalik dan menghampiri Etria kembali. Sang lawan sudah memegang palu besarnya, sekaligus memasang kuda-kuda.
"Kamu sekarang memilih untuk melumpuhkan tuan terlebih dahulu?" tanya Marcel
Dengan tatapan mata yang tajam kepada Etria, Ione pun menjawab dengan nada dingin, "Sebenarnya, waktu melawan Kacia, aku sudah mengincar Rava dari awal, tetapi aku tahu Kacia akan menahanku. Aku hanya bisa benar-benar melumpuhkan Rava kalau konsentrasi Kacia sudah begitu rendah."
"Aah, jadi kamu bilang, Etria tak akan menghalangimu melumpuhkan Robin?" timpal Marcel, sedikit mengangkat bahu.
"Begitulah."
Gigi Etria bergemeretak. "Kamu meremehkanku?"
Ione terus berjalan menghampiri Etria. "Tidak. Aku hanya menyampaikan analisisku."
"Hei, katakan kepadaku," gumam Etria, lagi-lagi meneteskan air matanya. "Apakah kamu tidak merasakan apa-apa setelah membunuh Kacia?"
Ione berhenti melangkah. Ia memejamkan mata untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab. "Tentu saja aku merasa sedih. Dia itu orang yang berhati mulia."
Serta-merta Etria membelalakkan matanya. Ia sudah membuka mulut lagi untuk berbicara. Namun, pada akhirnya ia memilih untuk diam, berlari maju dan bersiap untuk mengayunkan palu besarnya. "Aaaargggghhhh!!!"
Dengan begitu cepatnya, sebelum Etria mengayunkan senjata, Ione maju sambil merunduk. Hanya selang sedetik, dia sudah memeluk tubuh Etria. Kemudian, tanpa ampun, Ione mengangkat tubuh musuhnya itu sambil melompat.
Etria tak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya dibanting keras ke aspal. Saking kerasnya bantingan itu, palu di tangannya pun terlepas.
Ione tak membuang waktu. Ia langsung menduduki tubuh Etria. Etria berontak, tetapi Ione tak peduli dan memukul wajah mantan rekannya itu.
Sementara Ione terus memukuli wajah Etria dengan brutal, Marcel membuang pandangannya ke arah lain. Kondisi itu berlangsung untuk beberapa saat saja, sebelum akhirnya Ione bangkit setelah wajah Etria dihiasi satu lebam di pipi.
Ya, energi pelindung milik Etria sudah terkikis habis.
Ione mundur untuk menjaga jarak, mulai menempelkan serulingnya ke bibir. Etria susah-payah bangkit sambil memegangi lebam di pipi kirinya, langsung celingukan mencari senjatanya.
Lantunan pelan melodi yang mendayu-dayu mulai keluar dari seruling yang ditiup Ione. Begitu merdu dan menghanyutkan. Bukannya mendengarkan, Marcel malah menutup telinganya. Ada yang misterius dari melodi itu. Ada sesuatu yang membuat Marcel ingin menitikkan air mata.
Namun, Marcel tidak tahu apa itu.
Perlahan, tubuh Etria mulai melayang ke atas. Dari ujung kepala sampai ujung kakinya mulai memancarkan cahaya biru temaram. Ia sama sekali tak bisa berontak. Kedua tangan dan kakinya seperti ditarik ke arah yang berlawanan.
"Ughhh ...." Etria mulai merintih kesakitan. Ujung-ujung pisau seolah mulai menekan setiap senti bagian tubuhnya. Sendi di kedua tangan dan kakinya juga terasa seperti akan putus karena ditarik begitu kencang.
Dalam sekejap, rintihan itu berubah menjadi raungan kesakitan. "Aaaargggghhhhh!!!"
"Tolooonggg!!! Hentikaaaannn!!! Aku mohon Ione!!! Ini sakit sekaliii!!! Sakit!!! Sakit!!! Sakiiit!!!" Etria membelalak lebar-lebar. Sekarang, ia merasa tubuhnya tidak ditekan oleh banyak pisau, tetapi seperti dihujami ribuan pedang. Sendi-sendi di kedua tangan dan kakinya juga tertarik semakin kencang, bahkan sampai mengeluarkan suara seperti tulang-tulang yang retak. Dengan air mata dan liur yang mengalir deras, ia terus berteriak, "Sakiiiit!!! Hentikan, Ione!!! Aku mohooon!!! Sakiiiit!!!"
Mata Etria mulai memutar ke belakang. Air liur dari mulutnya mulai berganti menjadi busa putih.
Meski mantan rekannya itu tampak begitu tersiksa, walaupun matanya yang terpejam itu sudah menitikkan cairan bening, Ione tetap meniup serulingnya,
Cahaya biru yang begitu terang mulai keluar dari dada Etria. Berbentuk seperti banyak sekali sulur tipis yang salin menjalin, cahaya itu bergerak pelan memasuki dada Ione.
Menit-menit berlalu menjadi hitungan jam. Ione terus meniup serulingnya, menyedot cahaya dari tubuh Etria.
"A-aku mohon, I-ione. B-bunuh saja a-aku." Teriakan penuh derita Etria sudah menjadi erangan kembali. Kedua mata bidadari itu makin memutar ke belakang, bahkan sampai hanya warna putihnya saja yang terlihat.
Sampai akhirnya, kelopak mata bidadari itu turun. Aliran cahaya biru dari dadanya telah habis. Tubuhnya juga tak memancarkan cahaya apa pun lagi.
Tubuh bidadari malang itu pun jatuh ke aspal layaknya boneka yang tak bernyawa.
Ione menurunkan serulingnya. Dengan tubuh gemetar dan air mata yang membasahi pipi, dia mendatangi mantan rekannya itu. Tubuh Etria sekarang berbaring miring di aspal.
"Apakah kamu juga akan memfotonya untuk dikirim kepada yang lain?" tanya Marcel dengan nada lirih dan getir, ikut mendatangi jenazah Etria.
Ione menggeleng pelan. "Tidak perlu. Tujuanku mengirim foto Kacia kepada yang lain adalah agar Rava langsung percaya dan tidak menyangkal. Sekarang ...."
Bidadari itu menyipitkan matanya. Gumpalan kabut putih nan tipis mulai merayap di jalanan aspal tempatnya berada. Ia pun menoleh ke ujung jalan yang lain, langsung mendapati gumpalan kabut yang lebih tinggi dan tebal.
Seorang bidadari berkulit sepucat pualam dan berbaju tempur putih tampak keluar membelah kabut itu.