Motor
Motor
"Hei, Astroboy. Katanya sibuk, tapi sempet ya jadi panitia?" kak Novan bertanya dengan senyum iseng. Dia dan Kak Sendy sedang menyempatkan diri bergabung dengan kerumunan kami. Mungkin sedang merasa suntuk dengan segala hal yang bersentuhan dengan ujian.
"Aku nyempetin waktu karena ada Faza." ujar Astro tanpa malu-malu.
"Aku juga ga akan lepasin kamu sih kalau kamu jadi pacarku. Kalau perlu aku lamar sekalian." ujar kak Novan padaku dengan senyum iseng yang semakin lebar.
Astro tersenyum lebar sekali seolah sedang dipuji. Sedangkan aku hanya mengabaikan apapun yang mereka bicarakan hingga baru menyadari mungkin aku ahli dalam mengabaikan sesuatu.
"Gimana progresnya? Boleh minta bantuan kok atau sekedar minta saran." ujar Kak Sendy.
"Kita udah dapet sponsorship, Kak. Budgetnya juga lebih dari perkiraan. Tinggal teken venue, trus kita bisa eksekusi temanya. Kita juga udah tanda tangan kontrak sama beberapa band." ujar Zen.
"Ada saran ga, Kak, stasiun radio mana yang kira-kira bisa nyiarin acara dan kerja sama bareng kita. Stasiun radio B kemarin nolak proposal soalnya kita keduluan sekolah kota sebelah." Beni bertanya.
"Udah coba ke stasiun radio P? Tahun lalu kita coba kasih proposal ke sana, tapi ga cocok sama image mereka. Kalau sekarang kayaknya bisa sih." ujar Kak Novan.
Aku menoleh ke Astro karena aku tahu stasiun radio itu adalah stasiun radio kesukaannya. Astro hanya tersenyum lebar saat menyadariku menoleh padanya.
"Boleh dicoba nanti. Makasih, Kak, sarannya." ujar Naomi yang memang bertugas menyebarkan proposal.
"Kamu harus ngajakin lebih banyak orang buat ngatur instalasinya biar kerjanya lebih efisien." ujar Kak Sendy pada Astro.
"Ada tujuh orang lain lagi yang mau bantu masang kok. Tenang aja. Mereka cuma ga mau repot ikut jadi panitia." ujar Astro.
"Kalian harus kontak pemadam kebakaran buat jaga-jaga. Dua tahun lalu hampir ada kebakaran gede di deket gedung olahraga." ujar Kak Novan.
Kami semua menyetujuinya demi keamanan. Donna sudah mencatat apa saja yang kami bahas karena dia bertanggung jawab menjadi sekretaris. Kami semua berpisah setelah bel istirahat berbunyi.
"Kamu jadi berangkat jumat sore?" aku bertanya karena ingat beberapa hari lagi adalah hari Astro akan berangkat mengurusi proyeknya yang entah berada di mana.
"Jadi. Tunggu aku pulang ya."
Aku menggumam mengiyakan, "Kamu ga boleh telat makan ya. Kamu harus sehat."
"Aku sehat kok." ujarnya sambil memberiku senyum menggodanya yang biasa.
"Aku bisa nganter kamu ga sih?"
"Kalau kamu nganter, sama aja aku ngasih tau kamu aku pergi ke mana, Nona."
Dia benar. Memang itu yang sedang berusaha kucari tahu. Aku menatapnya kecewa, tapi dia tersenyum yang seolah tak ada habisnya.
Tiga minggu ini berlalu cepat untuk kami berdua. Dia sudah tak pernah menyebut apapun tentang menikah sejak terakhir kali dia menyebutku istrinya. Kurasa kami membuat keputusan yang tepat saat bergabung dengan panitia AT Project.
***
Aku sedang tersenyum menatapi lavender yang kutaruh di dalam vas. Astro yang memberi lavender itu padaku kemarin saat mengantarku pulang. Aku mengetik pesan untuk Astro di laptop saat melihat dia baru saja online.
Aku : Tumben online jam segini?
Astro : Aku lagi kerja di kamar
Aku : Emangnya kemarin lalu kamu kerja di mana?
Astro : Rahasia, Honey. Kamu belum boleh tau
Aku : Okay. Aku ga mau ganggu kalau gitu
Astro : Aku bisa diganggu kok sekarang
Aku bisa membayangkan sedang mengintip laptopnya jika sedang berada di sisinya saat ini. Walau aku sudah berniat akan menunggunya memberitahuku, tapi aku tak akan menolak jika bisa mendapatkan beberapa informasi. Atau setidaknya aku hanya ingin tahu dia sedang berada di mana.
Handphone di sebelahku berbunyi. Naomi memberiku panggilan telepon dan aku menerimanya.
"Faza aku mau minta bantuan, bisa ya?"
"Bantu apa?"
"Harusnya aku ada jadwal ke stasiun radio P pagi ini buat ngasih proposal, tapi ibuku ternyata ngadain arisan jadi repot banget di rumah. Kamu gantiin aku ya?"
Aku memang tak memiliki pekerjaan apapun hari ini. Sejak Astro membiasakanku bekerja malam hari, aku menyelesaikan semua pekerjaanku saat malam tiba. Yang mengejutkan, aku justru merasa lebih mudah berkonsentrasi saat itu.
"Aku ga ada kerjaan sih hari ini, tapi proposalnya ada di kamu kan?"
"Proposalnya ada di aku sih, tapi nanti Zen bisa ambil. Sekalian lewat buat jemput kamu."
"Ooh, jadi ke aku ngasih proposal berdua sama Zen?" aku bertanya karena merasa buruk jika hanya berdua bersama Zen. Aku memikirkan perasaan Astro yang beberapa waktu ini sensitif sekali.
"Ada Beni juga kok. Aku cuma ga yakin mereka bisa ngasih image bagus buat proposal kita diterima, makanya mau minta bantuan kamu. Bisa ya? Udah mepet banget nih waktunya."
"Okay, aku chat mereka dulu." ujarku yang berpikir mungkin Astro tak akan keberatan jika ada Beni bersamaku karena sepertinya mereka dekat.
"Makasih banyak, Za. Aku lebih tenang kalau ada kamu."
"It's okay." aku menutup telepon Naomi dan mengetik pesan dari laptop untuk Astro.
Aku : Aku ga bisa ganggu kamu sekarang. Aku dimintain tolong sama Naomi buat ke stasiun radio P
Astro : Kenapa dia?
Aku : Katanya di rumah sibuk. Ibunya adain arisan
Astro : Mau sama siapa ke sana? Proposal ada sama Naomi, kan?
Aku : Sama Beni, tapi ada Zen juga
Aku sengaja menyebut Beni lebih dulu agar Astro tak merasa keberatan. Semoga firasatku benar.
Astro : Okay. Nanti aku minta Beni jagain kamu
Reaksinya tepat seperti dugaanku.
Aku : Aku siap-siap dulu ya. Kamu harus inget buat makan tepat waktu
Astro : Kamu juga. Nanti kabarin aku
Aku : Okay
Aku mematikan laptop dan mengirim pesan pada Zen melalui handphone untuk menjemputku, lalu beranjak untuk mengganti pakaian. Aku memakai celana jeans berwarna hijau lumut dan jaket denim dengan desain feminim yang kubeli bersama Astro di butik beberapa bulan lalu karena ingin memberi kesan baik agar proposal kami diterima.
Aku juga menyiapkan berbagai barang ke dalam ransel dan memakai topi inisial Astro, lalu meminta izin pada Opa untuk ke stasiun radio bersama Zen. Untungnya, Opa mengijinkan.
Aku baru saja menghabiskan segelas susu saat terdengar ketukan di pintu. Aku bergegas membukanya dan menemukan Zen dengan motor dan dua helm yang terparkir di halaman.
"Aku pikir kamu bawa mobil biar bisa bareng Beni."
"Rumah Beni jauh jadi kita ketemu di sana aja. Ada Opa? Aku mau minta ijin." ujar Zen sambil melirik topi yang kupakai, tapi tak berkomentar apapun tentang itu.
Aku terpaksa menerimanya dan mengajaknya ke teras belakang karena Opa sedang duduk di kursi roda sambil memberi makan ikan koi. Zen meminta izin untuk membawaku bersamanya ke stasiun radio dan berjanji akan mengantarku pulang sebelum gelap.
Aku menaruh topi ke ransel sebelum memakai helm milik Zen. Aku sempat berpikir untuk meminta Pak Said yang mengantar, tapi mengingat Naomi berkata waktu kami terbatas hingga mungkin memang akan lebih efisien jika mengendarai motor. Aku akan menjelaskannya pada Astro nanti.
"Kamu bisa pegangan di pinggangku kalau mau." ujar Zen setelah aku menaiki motornya.
"Ga perlu, Zen. Jalan aja cepetan. Tadi Naomi bilang waktunya udah mepet."
Zen menaikkan bahu, "Aku tau kok kamu mikirin Astro. I envy him (Aku iri sama dia)."
Zen membuatku merasa buruk dengan diriku sendiri, tapi dia memang benar. Dia sudah cukup tau diri untuk tak memaksa selama ini, tapi entah kenapa dia tak juga menyerah.
Kami berkendara dalam diam. Refleks tubuhku baik sekali sejak mengikuti kelas muay thai. Aku tahu Zen beberapa kali sengaja mengebut, tapi aku berhasil menjaga keseimbangan tubuh tanpa menyentuhnya. Hanya satu kali aku terpaksa memegang besi di belakang untuk menjaga tubuh tetap tegak.
Kami sampai di stasiun radio P hampir satu jam setelahnya. Sudah ada Beni menunggu kami di parkiran.
"Langsung masuk yuk. Kalian dateng pas waktunya kita janjian." ujar Beni yang memimpin kami ke dalam gedung.
Ini pertama kalinya aku datang ke sebuah stasiun radio, dengan banyak foto dan poster tertempel di dinding. Desain interiornya terasa memberi semangat dan terlihat artistik. Suasananya terasa menyenangkan untukku.
Kami bertanya pada seseorang di meja resepsionis sebelum diantar ke ruangan tempat kami akan menyerahkan proposal. Kami melewati berbagai ruangan, salah satunya ruangan siaran.
Ruangan itu menarik perhatianku bukan karena aku baru pertama kali melihatnya, tapi karena ada sosok Donny Pranoto sedang duduk bersama dua orang penyiar radio di kedua sisinya. Kami sempat bertatap mata sebelum aku melanjutkan langkah mengkuti Zen dan Beni.
Lenganku yang pernah terluka karena ulahnya, tiba-tiba terasa berdenyut mengganggu. Luka yang hingga saat ini masih terlihat walau samar.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-