Pacar
Pacar
"Jadi inget waktu kita masih muda ya, Yah?" ibu menimpali dan mereka tersenyum satu sama lain.
Aku menoleh pada Astro yang memakai topi dengan inisial namaku. Entah kenapa baru sekarang aku merasa malu.
"Abaikan yang lagi pacaran." ujar Astro padaku, sepertinya menyadari aku merasa sedikit terganggu.
"Cepetan selesaiin proyek kamu biar bisa pacaran juga." ujar ayah.
Kalimat itu membuat wajah kami merona merah hingga kami saling mengalihkan pandangan ke jendela di samping kami.
Ayah dan ibu Astro mengantar kami ke sekolah karena Astro tak mungkin membawa mobil sendiri. Kami akan menginap satu malam di lokasi study dan mobil Astro tak mungkin ditinggalkan di sekolah. Sebetulnya kami bisa meminta pak Said atau pak Deri yang mengantar, tapi kedua orang tua Astro memiliki jadwal pertemuan dengan kolega bisnis mereka yang bersamaan dengan jam kami berangkat ke sekolah.
"Kalian ga sentuhan kan?" ayah bertanya.
"Ga, Yah." aku dan Astro menjawab bersamaan.
Kami bertatapan tak lama setelah mendengar masing-masing dari kami mengeluarkan suara. Sial ... kami sangat menghindari topik ini.
"Udah sih, Yah. Ibu percaya kok sama mereka." ujar ibu.
"Fine. Take care each other, you two (Saling jaga ya kalian berdua)." ujar ayah.
"Iya, Yah." aku lah yang menjawab karena kurasa Astro terlalu malas untuk menjawabnya.
Kedua orang tua Astro hanya mengantar sampai gerbang karena harus segera pergi. Kami menyalami dan mencium tangan mereka, lalu berjalan beriringan menuju halaman karena akan ada arahan singkat dari pak Sugeng.
"Kamu bawa powerbank kan?" Astro bertanya.
"Bawa."
"Erm ... bisa kali aku masuk bus kamu." ujarnya tiba-tiba dan berjalan cepat menuju bu Gres yang sedang berbincang dengan Zen.
"Ikut bus kelas kamu sendiri, Astro. Ibu ga mau tanggung jawab sama murid kelas lain." ujar bu Gres.
"Astro ga akan ngerepotin kok, Bu. Astro cuma duduk diem di sebelah Faza." ujar Astro yang berusaha merayu.
"Ibu bilang ga, Astro. Udah sana, kamu kembali ke barisan kelas kamu."
Astro terlihat kecewa karena rencananya gagal. Aku hanya mampu menatapnya dengan tatapan kasihan saat dia menoleh padaku.
"Hmm ... kalian pacaran ya?" bu Gres bertanya setelah mengamati topi yang kami pakai.
Aku melihat Zen menatap tajam ke arah Astro dan sepertinya akan meminta penjelasan padaku nanti. Walau dia tak mengatakan apapun saat ini.
Aku akan memilih diam saja dan berhati-hati untuk tak menampakkan ekspresi apapun, tapi Astro justu tersenyum lebar sekali. Aku tahu sejak kemarin tentang rencananya memberitahu orang lain bahwa kami sekarang adalah pasangan. Harus kuakui dia berhasil.
"Aah ... I get it now (Ibu paham sekarang)." ujar bu Gres.
"Boleh ya, Bu. Astro ga ngerepotin kok." ujar Astro dengan senyumnya yang entah bagaimana terlihat mempesona.
"Justru ibu akan lebih ngelarang kamu deket-deket Faza. Sana kembali ke barisan kelas kamu." ujar bu Gres yang membuat wajah Astro memucat.
Zen tersenyum lebar sekali saat mengetahui keputusan bu Gres. Walau kurasa dia akan tetap bertanya macam-macam padaku nanti.
"Iya, Bu Gres" ujar Astro sambil menatapku dengan tatapan menderita yang jelas sekali dan menatap dengan enggan ke arah barisan kelasnya sendiri.
"Selamat karena kalian udah pacaran, tapi tolong jaga jarak." ujar bu Gres.
Aku hanya mampu mengangguk dengan canggung setelah mendengar kalimat bu Gres. Karena faktanya kami memang tidak pernah berpacaran. Walaupun cukup mengejutkan bagiku karena bu Gres tak keberatan dengan hubungan semacam itu. Bu Gres hanya terlihat khawatir jika mungkin akan terjadi sesuatu pada kami.
Bu Gres meminta semua murid berbaris sesuai barisan kelas masing-masing untuk mendengarkan arahan dari pak Sugeng selama lima belas menit. Lalu aku mengantri naik ke bus khusus kelas kami yang diberi keterangan "XI Bahasa II, SMA Amreta Tisna" di kaca depan dan belakang bus.
Karena kami bebas memilih kursi mana saja yang kami inginkan, aku memilih kursi yang berada di ujung belakang dekat jendela. Tak lama Zen duduk di sebelahku dengan sebuah gitar dipelukannya.
"Kalian beneran jadian?" Zen bertanya sambil menatap sisi samping topiku yang bertuliskan nama Astro. "Oh bener ternyata."
Sepertinya Zen sudah mengambil kesimpulan bahkan sebelum aku menjawab. Aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Karena walaupun menurutku hubunganku dengan Astro bukanlah hubungan semacam berpacaran, tapi sepertinya semua orang mengasumsikan seperti itu.
"Well ... aku masih bisa nikung sih." ujar Zen dengan tatapan nanar.
"Zen ..." aku hanya sanggup menyebut namanya. Aku tahu sejak berbulan-bulan lalu dia tak akan mudah menyerah. Sepertinya kali ini aku pun masih tak mengerti bagaimana cara otaknya bekerja.
Zen menaikkan bahunya sesaat, "Aku sabar kok."
Kurasa aku benar-benar tak mengerti.
"Minggir, Zen. Ini tempatku." ujar Donna yang tiba-tiba datang dan memaksa Zen menggeser tempat duduknya. "Selamat ya, Faza. Heboh banget di luar pada gosipin kalian yang ternyata udah jadian."
Sepertinya aku tahu apa yang dimaksud Donna. Aku hanya memberinya sebuah senyum yang paling biasa. Rencana Astro benar-benar berhasil kali ini.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Aku akan membiarkan saja hal ini terjadi, karena dipikir bagaimanapun kami memang pasangan. Kedua orang tuanya setuju, Ray bahkan terang-terangan berkata akan membuatkan wedding cake saat waktunya tiba dan sepertinya kakek Arya dan opa juga tahu.
Astro berkata aku harus menunggunya empat tahun lagi. Bukankah itu berarti waktuku akan tiba saat aku kuliah semester lima? Atau mungkin lebih? Astro terlihat tak yakin saat mengatakan berapa lama waktu yang dibutuhkannya.
Apakah terlalu cepat bagi kami? Biasanya kebanyakan orang akan memilih waktu setelah selesai kuliah atau setelah mereka bekerja. Namun kami jelas tak perlu mencari sebuah pekerjaan, bukan? Kami memiliki bisnis yang sedang kami kelola.
Aah memikirkan ini membuat perutku terasa panik hingga menggeliat tak nyaman....
"Mau permen?" Donna bertanya sambil menyodorkan padaku sekantung permen mint.
"Thank you." ujarku sambil mengambil beberapa dan memakan satu. Aku menyimpan sisanya di kantong jaketku. Sepertinya perutku terasa lebih nyaman sekarang.
Zen memetik gitarnya dan kami mulai bernyanyi bersama. Entah kenapa, aku bersyukur pernah mengalami hal-hal menyenangkan ini bersama teman-temanku. Kurasa aku membuat keputusan tepat untuk bersekolah tahun ajaran ini.
=======
Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Btw, kalian bisa panggil aku -nou-