Kehilangan Akal Sehat
Kehilangan Akal Sehat
Seorang suster berteriak sembari berjalan keluar dari ruang pemeriksaan. Ia mengecek kembali nama pasien yang tertera di dokumen yang ia bawa lalu hendak berteriak lagi ketika Ioan berdiri dengan tangan terangkat.
Suster itu segera mempersilakannya masuk.
"Selamat siang, silakan duduk," sapa seorang dokter muda berumur sekitar 30 tahun dengan senyum ramah. Ia mengulurkan tangan pada kursi kosong di hadapannya.
Ioan menggumamkan balasan terhadap sapaan tersebut sambil duduk.
Dokter itu membolak-balik catatan medis Ioan seraya berkata, "Anda ingin menyuntik obat penahan feromon?"
Ioan mengangguk.
"Baiklah. Tolong tunggu sebentar!"
Dokter itu berjalan ke bagian dalam ruangan yang dipisahkan oleh tirai putih tebal. Di sisi lain, suster yang tadi memanggilnya mulai menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan penyuntikan.
Tidak lama kemudian, dokter itu kembali lalu mulai menyuntikkan obat penahan. Ioan menunggu sekitar sepuluh menit sebelum dokter itu mengecek kembali apakah obat tersebut benar-benar bekerja atau tidak menggunakan alat medis sihir khusus yang sudah sangat familiar bagi Ioan. Setiap kali ia menyuntikkan obat, ia akan melihat alat itu dan ia bahkan mulai memahami arti dari tanda-tanda yang ada di dalamnya.
Biasanya, jika obat itu bekerja, gelombang di dalam alat akan sangat stabil dan tenang. Namun, ketika ia melihat layar kecil dari alat itu, ia menemukan gelombang yang tidak teratur dan berfluktuasi. Raut wajah dokter muda itu juga tidak terlihat baik.
"Apa ada yang salah?"
Dokter itu memaksakan sebuah senyum untuk menenangkannya tapi kedua alisnya tidak berhenti mengerut dengan cemas. Ia mengambil sapu tangannya untuk mengusap peluh yang membasahi dahi.
"Sedikit tapi jangan khawatir. Tunggu sebentar, ya. Aku perlu menghubungi dokter lain untuk membantuku."
Ioan mengangguk paham. Sebelum dokter itu pergi, Ioan tiba-tiba teringat sesuatu dan segera menahan lengan pria itu. "Pemeriksaan selanjutnya tidak akan terkena biaya kan?" Jika ia dikenakan biaya, walaupun ada komplikasi pun, ia tidak akan mau melanjutkan pemeriksaan karena ia tidak punya uang sebanyak itu.
"Tenang saja. Ini murni kesalahanku jadi Anda tidak akan dipungut biaya."
Ioan akhirnya bisa menghela napas lega dan membiarkan dokter itu pergi. Entah berapa lama ia menunggu, tapi mungkin ada sekitar tiga puluh menit, dokter itu kembali dengan suster yang berbeda. Dokter tersebut tidak bisa berhenti mengusap peluh di dahinya dengan sapu tangan.
"Silakan ikuti suster ini ya."
Ioan mengangguk dan dengan patuh mengikuti suster itu. Suster itu hanya tersenyum ramah lalu membawa Ioan menyusuri lorong rumah sakit yang memiliki banyak belokan.
Mereka berjalan hampir 10 menit sebelum suster itu berhenti di depan pintu yang terletak di sebuah lorong sepi.
Ioan mengedarkan pandangannya pada kursi tunggu di sepanjang lorong yang tidak diduduki oleh satu pun makhluk hidup. Apa dokter ini tidak terkenal? Tidak heran jika dokter ini yang akan menangani Ioan. Lagipula, ini gratis dan tidak banyak dokter yang ingin mengurusi masalah half-beast.
"Silakan masuk," ujar Suster menarik perhatian Ioan kembali.
Ioan segera berjalan masuk ke dalam ruangan itu tapi anehnya ruangannya gelap dan sangat sunyi. Penciumannya pun menangkap bau benda-benda yang berkarat dan tidak ada hawa keberadaan seseorang di dalamnya.
Alisnya mengernyit dalam. "Mengapa a—" Baru saja ia berbalik, ingin bertanya apakah suster itu telah salah, pintu tiba-tiba tertutup.
Jantung Ioan berdegup kencang. Instingnya mengatakan bahwa ia telah masuk ke dalam bahaya!
Ia memutar gagang pintu tapi tidak berhasil. Gagang pintu itu tidak bergerak sama sekali, antara karena macet atau terkunci.
"Ada orang di luar?! Tolong!" serunya seraya memukul-mukul daun pintu yang entah mengapa terbuat dari bahan seperti seng atau aluminium.
'Aneh! Seharusnya pintu tadi terbuat dari kayu!' Firasat buruk semakin kental menggerogotinya. Ia terus berusaha menarik pintu itu sambil meminta bantuan dari luar hingga tenggorokannya hampir kering.
Deg!
"!!" Kaki Ioan tiba-tiba lemas. Ia langsung tersungkur ke tanah.
Napasnya terengah-engah dan tiba-tiba suhu tubuhnya naik drastis. Sensasi yang aneh menggelitik bagian bawah perutnya dan dadanya sesak bagaikan kekurangan oksigen.
'Rasa apa ini?!'
Ioan terus membuka mulutnya, berusaha menarik seluruh udara di sekitarnya masuk ke dalam tubuh tapi kesesakan yang ia rasakan tetap tidak hilang. Peluh membasahi seluruh tubuhnya bagaikan baru saja tersiram oleh air. Ia berusaha bangun tapi ia bahkan tidak bisa merasakan kakinya lagi dan kondisi bagian bawah perutnya semakin aneh.
Sesuatu tertahan di tenggorokannya ketika bagian bawahnya tanpa sengaja mengalami gesekan kecil dengan kain celananya, membuat ia buru-buru menggigit bagian bawah bibirnya.
'Aneh! Ini aneh! Bagaikan….' Pikiran Ioan terhenti di sana. Ia tidak mau memikirkannya karena jujur ia belum pernah mengalaminya dan hanya pernah membaca gejala-gejalanya di buku.
Namun, jika ia benar-benar mengalami hal itu, ini gawat!
Rumah sakit dipenuhi incubus dan juga half-beast. Walaupun lorong di sekelilingnya kosong, tidak memungkiri aroma yang ia keluarkan bisa mengundang seseorang yang berjarak cukup jauh dari tempat ini. Itulah yang pernah ia baca di buku.
Seperti keadaannya belum cukup buruk, pintu tiba-tiba terbuka.
Jantung Ioan hampir berhenti berdetak.
'Sial!'
*****
Ponsel Steve yang terletak di atas meja café bergetar. Nama Damian terpampang pada layar, menyadarkan Steve bahwa sisa sepuluh menit lagi sebelum pasien terakhirnya datang.
Ia segera menyeruput habis kopinya lalu memberitahukan Damian bahwa ia akan segera sampai. Tidak lupa, ia mengingatkan Damian untuk mengusir Jack terlebih dahulu agar ia tidak dipaksa menuju acara makan yang lainnya setelah pemeriksaan selesai.
Steve meletakkan bayaran beserta tip di atas meja lalu berjalan keluar dari café dengan kedua tangan dimasukkan di dalam kantong celananya.
Jalanan ramai oleh para manusia yang mengenakan jas atau kemeja rapi, sepertinya sedang melaksanakan pekerjaan kantor. Di sela-sela maraknya kaum manusia, para incubus juga terlihat. Lebih sedikit jumlahnya karena banyak incubus yang lebih memilih menyihir dirinya menjadi manusia karena tidak ingin menarik perhatian. Mereka terlihat juga sedang melakukan pekerjaan atau sedang bersantai di beberapa restoran.
Ketika ia melewati beberapa pabrik atau sudut yang agak kumuh, ia bisa menemukan half-beast yang tertutup debu dan peluh, sedang mengangkut barang-barang berat sambil sesekali mendapatkan teriakan dari penjaga pabrik. Ekspresi wajah mereka penuh dengan penderitaan tapi tetap menggerakkan kaki dan tangan mereka untuk bekerja karena jika tidak, mereka tidak akan bisa makan hari ini.
Hati Steve terasa diremas kuat. Namun, mengingat kembali kekejian yang ia rasakan seribu tahun lalu, kaum half-beast pantas mendapatkan ini. Mereka menuai apa yang telah mereka tanam.
Namun, di sudut pikiran Steve, terdapat sebuah pikiran yang sudah mengganjal di dalam dirinya cukup lama tapi selalu ia abaikan. 'Kalau begitu, bukankah dalam seribu tahun atau dua ribu tahun lagi, ketika half-beast berhasil menggulingkan kaumku, maka kami juga akan menuai apa yang telah kami tanam dan kembali seperti seribu tahun lalu? Apakah jalan ini adalah yang terbaik?'
Bukannya ia ingin mempertanyakan keputusan sahabatnya. Menurutnya, di saat itu, keputusannya adalah yang terbaik. Namun, sudah seribu tahun sejak mereka mendapatkan posisi tertinggi di dunia. Sudah banyak generasi baru half-beast yang tidak pernah paham mengapa mereka harus menjalani hal buruk ini padahal mereka tidak pernah melakukan apa pun kepada incubus.
'Keputusan Luca untuk menghapuskan perbudakan itu sudah sebuah jalan yang benar….' Setidaknya itu menurutnya walaupun banyak yang keberatan dengan keputusan tersebut.
Namun, apakah itu saja cukup?
Steve tidak menyukai half-beast tapi ia merasa sudah waktunya untuk mengambil jalan lain untuk mencegah terjadi kembali tragedi seperti seribu tahun yang lalu lagi.
Hanya saja, ia tidak tahu, jalan apa yang cocok untuk mencegah hal itu.
Tenggelam dalam pikirannya, Steve tidak menyadari keberadaan beberapa sosok yang sudah membuntutinya sejak ia keluar dari café.
Tiba-tiba, sesuatu disuntikkan ke punggungnya, tepat pada tulang belakangnya. Steve ingin menyerang sosok-sosok yang menyerangnya secara tiba-tiba itu tapi tubuhnya tidak mau mendengarkannya. Pandangannya pun menjadi buram dan entah mengapa tenggorokannya kering kerontang.
Ia haus. Namun, bukan air yang ia inginkan.
'Seks!'
Benaknya meneriakkan kata itu berkali-kali seperti pecandu yang sedang sakau. Tenggorokannya semakin kering bagaikan padang gurun.
Dalam kekacauannya, ia masih bisa merasakan pergerakan. Sepertinya tubuhnya dibawa oleh orang-orang itu.
Entah berapa lama waktu berlalu. Gairahnya semakin kuat dan ia sangat membutuhkan hubungan seksual. Sepertinya, benda yang disuntikkan padanya merupakan salah satu jenis afrodisiak kuat.
Samar-samar, ia bisa mendengar pintu dibuka dan detik berikutnya, tubuhnya terlempar ke dalam sebuah tempat yang gelap. Wajahnya langsung mendarat pada lantai semen yang berdebu dan bau besi berkarat memasuki penciumannya.
Bau-bau itu, walaupun sangat kuat, tidak mengganggunya. Sebaliknya, aroma manis lebih mengusik seluruh hati, pikiran, dan tubuhnya.
'Seks! Seks! Aku butuh seks!'
Aroma manis itu langsung menghancurkan pagar pertahanan terakhirnya. Air liur menetes deras, tidak sabar memakan mangsanya.
Samar-samar matanya menangkap sebuah sosok yang tertelungkup di atas lantai tidak jauh darinya. Tangannya dengan ganas menangkap sepasang lengan kurus milik sosok itu. Sosok itu meronta kecil tapi dengan mudah Steve tahan.
"Ti … dak … ja … ngan…." Samar-samar Steve bisa mendengar suara seseorang tapi otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih.
Gairah dan nafsunya telah menguasainya seluruhnya dan ia tidak lagi mengingat apa yang ia lakukan selanjutnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kolam nafsu yang pekat….