Pantulan Sosok di Balik Pintu
Pantulan Sosok di Balik Pintu
["Energi? Energi apa? Aku tidak pernah merasakannya."
"Seperti energi sihir."
"Tapi, aku bukan incubus. Half-beast tidak memiliki sihir."
"Itulah mengapa aku juga sedikit ragu. Hanya saja, mungkin kau memang memiliki sihir itu."]
Percakapan mereka beberapa minggu lalu kembali terngiang di dalam benaknya. 'Jadi itu memang benar?!'
Kala ia mendengarkan ucapan Luca beberapa minggu lalu, otaknya sedang kacau dengan perasaannya jadi ia tidak begitu memikirkannya tapi sekarang, setelah dipikir-pikir lagi, semuanya begitu aneh! Otak Mihai tidak lagi bisa menerima segala keanehan yang terjadi di dalam dirinya. Ia bertanya-tanya sejak kapan ia memiliki segel seperti ini dan mengapa? Apakah papanya tahu? Apakah kakak-kakaknya juga tahu? Dan mengapa ia bisa memiliki energi sihir?
Tidak ada yang bisa memberikannya jawaban. Walaupun begitu, ia tetap tenggelam dalam kebingungannya itu hingga ia merasa otaknya akan konslet.
Ruangan itu kembali bergetar. Luca kembali mendekatinya dan menggenggam erat tangan yang hangat itu.
Ia menatap Mihai dengan penuh keyakinan. Mihai memang sepertinya tidak mengetahui apa pun hingga fakta bahwa ia memiliki ayah seorang incubus.
Walaupun begitu, bukan berarti dengan memiliki ayah seorang incubus, Mihai akan memiliki sihir. Pada dasarnya, jika anak hasil perkawinan dua kaum adalah incubus, ia akan bisa menggunakan sihir sementara jika anaknya merupakan half-beast, anak itu tidak dapat menggunakan sihir. Kecuali itu adalah kasus spesial seperti….
"Ayo kita keluar dari sini. Aku akan me—" Luca tercekat. Matanya menangkap pantulan pintu batu yang membeku pada lantai dan langsung membulat lebar.
Mihai dan Liviu pun baru menyadarinya.
Pantulan lantai air itu bukanlah pintu batu yang dibaluti es melainkan pintu batu dengan tangga rusak dan rantai rusak di sekelilingnya. Masih sama seperti terakhir kali Mihai lihat, lima buah rantai mengelilingi pintu batu dua arah yang terbuka hingga menyentuh rantai itu.
Dari dalam pintu, sebuah sosok samar muncul.
Tidak tahu mengapa, tapi Luca merasa ia dapat mendengar detak jantungnya yang mengencang hingga menggema di dalam dirinya.
Sosok itu mendongakkan kepalanya dan secercah cahaya pink menyilaukan pandangan mereka. Tiba-tiba, ruangan itu bergemuruh hebat.
"A—apa yang terjadi?!"
Mihai sedang dalam keadaan tenang tapi ruangan itu tiba-tiba bergetar. Bunyi tetesan air terus terdengar dari berbagai arah, satu tetes, dua tetes, semakin banyak hingga bunyinya satu tetesan bertumpang tindih dengan tetesan lainnya membentuk suatu efek yang sangat kacau.
'"Pergi!"'
"?!"
Ketiganya tersentak kaget. Entah sejak kapan, mata mereka telah terpejam dan ketika mereka membukanya, mereka sudah kembali berada di dalam kamar tidur. Pemandangan tadi bagaikan sebuah ilusi tapi ketiganya tahu apa yang telah mereka lihat adalah sebuah kenyataan.
"Sosok itu…."
["Luca…."]
Suara panggilan seseorang menggema di dalam benak Mihai. Ia kembali teringat suara dari sebuah sosok yang ia lihat berada di balik pintu batu berantai itu, yang ia dengar pada kematian keduanya.
"Kau kenal sosok itu?" tanya Luca akhirnya ketika Mihai tidak kunjung melanjutkan ucapannya.
"Aku … mungkin...," gumam Mihai ragu-ragu. Ia lalu menceritakan mengenai sosok itu kepada Luca.
Otak Luca menganalisa setiap potongan-potongan informasi yang ia dapat dan ia satukan bagaikan sedang merajut sebuah syal yang panjang. Dugaan-dugaan bermunculan tapi tidak ada yang pasti di dalam otaknya. Hanya saja, Ia yakin ia tahu siapa yang bisa memutuskan semua dugaaannya itu sebagai benar atau salah.
'Sebelum itu….'
Luca menyandarkan bantalnya pada kepala tempat tidur dan menarik lembut lengan Mihai yang masih dipenuhi pikiran. "Bersandarlah di sini. Aku ingin menceritakan sesuatu."
Melihat tempat tidur dengan dua bantal yang bersebelahan membuat Mihai kembali teringat akan fakta bahwa ia akan tidur seranjang dengan Luca mulai hari ini. Semburat merah menghiasi pipinya.
"Cerita apa?" tanyanya setelah berhasil mengusir pikirannya yang mulai merayap ke arah yang berbahaya. Ia menggeser tubuhnya hingga bersandar pada bantal dan meletakkan Liviu di sampingnya, tepat di antara Luca dan dirinya.
Liviu mendongak ke arah keduanya, juga menanyakan hal yang sama.
"Kau ingat ketika aku menanyakan kepadamu tentang mixed blood?"
Mendengar istilah yang tidak lagi asing, Mihai mengangguk. Jantungnya berdegup kencang dan telinganya berdiri tegak ke arah Luca, tidak ingin melewatkan setiap ucapan yang akan Luca katakan setelah ini sebab ia sudah bertanya-tanya mengenai makhluk yang Luca ungkit ini sejak dua minggu lalu.
Luca mulai menceritakan mengenai masa lalunya, mengenai Emilia, dan mengenai bayi mixed blood yang dilahirkan gadis itu.
Mihai tidak berkomentar apa pun selama mendengarkannya. Walaupun begitu, matanya menggelap setiap kali ia mendengar mengenai Emilia.
"Aku mengerti," gumamnya ketika Luca berhenti bercerita. Ia paham segala pengorbanan yang dilakukan Luca demi gadis pujaannya itu. Hatinya terbakar oleh rasa cemburu tapi anehnya, ia tidak memiliki dorongan untuk mengamuk. Sebaliknya, ia begitu tenang hingga terasa menyeramkan.
Luca menyadari keanehan pria itu dan buru-buru menambahkan, "Ini hanyalah masa lalu."
"Aku tahu," balas Mihai.
"Kau tidak tahu," ujar Luca yakin.
"Aku bilang, aku tahu!" ketus Mihai. Sudutnya bibirnya melengkung jatuh penuh kejengkelan.
Luca menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak beradu mulut lagi. Sebaliknya, ia mengelus kepala Mihai dengan lembut.
"Da!" Liviu yang melihatnya langsung protes karena mau dielus juga.
Pada akhirnya, Luca mengelus kepala kedua orang itu dalam diam. Mihai tidak menolak dan berkomentar apa pun. Luca juga tidak berusaha menjelaskan apa pun lagi, membiarkan Mihai bergumul dengan pikirannya sendiri.
Di sisi lain, Mihai mulai mengutuk dirinya yang terlalu kekanakan. Elusan di kepalanya itu membuat kepalanya berangsur-angsur jernih dan sekarang, ia menyesali perbuatannya. Ia memang cemburu tapi tidak ada yang aneh jika pasangannya memiliki pujaan hati di masa lalu, apalagi itu adalah Luca yang sudah hidup ribuan tahun.
"Maafkan aku. Aku cemburu pada gadis itu," aku Mihai akhirnya. Kedua telinganya menunduk lemas, menggambarkan penyesalannya yang tulus.
Luca berpikir bahwa itu adalah hal yang imut tapi disaat yang bersamaan, ia tidak ingin Mihai terlihat begitu lemas jadi ia mengacak rambut istrinya. "Jangan meminta maaf. Seharusnya itu adalah hal yang wajar."
Luca tidak berbohong. Sepanjang ingatannya dengan Emilia, ia sering cemburu jika gadis itu dekat dengan pria lain. Tidak hanya itu, dalam buku-buku novel yang kerap kali ia baca belakangan ini, kecemburuan terhadap mantan pacar adalah hal yang lazim.
Mihai juga tahu itu. Hanya saja, tanpa alasan yang jelas, ia merasa buruk ketika mencemburui hubungan Luca dan Emilia.
Pada akhirnya, keduanya memutuskan untuk tidak mengungkit hal ini lagi setelah Luca kembali menegaskan bahwa semuanya hanyalah masa lalu dan sekarang, hanya ada Mihai di dalam pikirannya – ia tidak bisa mengatakan di dalam hatinya karena ia sudah kehilangan benda itu.
"Jadi, mengapa kau menceritakan semua ini? Apa hubungannya mixed blood denganku?" tanya Mihai kembali ke permasalahan mereka.
Tangan Luca, yang masih mengelus kepala Mihai, mendorong pelan kepala itu hingga menyandar pada bahunya lalu kembali mengelusnya lembut. "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang karena aku sendiri masih tidak terlalu yakin. Aku rasa kau harus menghubungi orang tuamu untuk mengetahuinya."
"Papaku?"
Luca mengangguk. "Akan lebih baik jika kau bisa berbicara langsung dengannya dan aku bisa ikut dalam pembicaraan itu."
Mihai mempertimbangkan sejenak. Sepanjang yang ia ketahui dan ia sadari selama ini, papanya sepertinya menghindari untuk bertemu langsung dengan incubus, walaupun Mihai tidak tahu alasannya. Ia tidak tahu apakah Ioan akan bersedia untuk bertemu dengan Luca atau tidak, tapi….
"Aku akan berusaha menanyakannya besok setelah meminjam ponsel Paman Toma," balas Mihai setelahnya sambil membenarkan posisi Liviu yang menguap lebar di atas bantal dan mulai menepuk-nepuknya dengan lembut. Tidak butuh waktu lama bagi Liviu untuk akhirnya tertidur. Waktu memang sudah larut karena sekarang, jam dinding besar di kamar Luca sudah menunjukkan pukul 00:45.
"Mengapa kau harus meminjam ponsel?"
"Ponselku sudah rusak jadi aku selalu meminjam ponsel Paman Toma untuk menghubungi keluargaku sekarang."
Luca mengernyit dalam. "Mengapa kau tidak memberitahuku tentang ini?"
Mihai sedikit syok dengan pertanyaan itu tapi beberapa detik kemudian, ia menatap Luca dengan bosan. Wajahnya seperti mengatakan 'Kau pikir gara-gara siapa aku tidak melakukannya?'.
Pada akhirnya, Luca hanya bisa menggaruk tengkuknya. "Baiklah. Itu karena aku."
Mihai tertawa terbahak-bahak. Melihat itu, sudut bibir Luca terangkat sedikit dan tangannya dengan gemas mengacak rambut Mihai lagi.
"Besok, aku akan membawamu ke toko ponsel. Belilah yang baru dan hubungi orang tuamu setelah itu."
Mihai hampir tidak percaya dengan telinganya sehingga ia kembali bertanya untuk memastikan. Setelah mendengar pernyataan yang sama keluar dari mulut Luca, Mihai merasakan kehangatan memenuhi dadanya.
Sambil menahan tenaganya agar tidak mengguncang Liviu hingga terbangun, ia mendekatkan wajahnya pada Luca dan mengecup sudut bibirnya dengan ringan. "Terima kasih," bisiknya sedikit centil.
Luca tercengang sementara Mihai mulai merasa malu oleh perilakunya sendiri jadi ia segera kabur ke dalam selimut setelah mengucapkan selamat tidur.
Sebuah kecupan hangat mendarat di kepala Mihai dan bisikan selamat tidur dengan suara yang dalam dan serak milik Luca menghantam telinganya bersama dengan napas yang panas. Telinganya langsung menekuk malu.
Tidak lama kemudian, lampu kamar pun dimatikan, menyisakan lampu tidur yang redup….