This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Pilihan yang Salah, Nyawa yang Hilang (2)



Pilihan yang Salah, Nyawa yang Hilang (2)

Emilia mencekik bayi itu dengan satu tangan dan siap menikam bayi itu dengan pisau dapur dengan tangannya yang lain.     

"Mixed bloodI sialan! Aku tidak akan membiarkanmu mengambil milikku lagi!" gumamnya dingin. Sepasang matanya kembali penuh dengan kegilaan.     

Luca mematung di tempat. Suhu tubuhnya mendingin ketika ia melihat kilatan bilah pisau itu dan kedua kakinya tidak mau bergerak, seperti telah melengket erat pada tanah. Baru ketika bilah itu bergerak, hendak menikam bayi tersebut, kedua kakinya bisa kembali bergerak.     

Otaknya kacau oleh berbagai pikiran.     

'Apa yang terjadi?'     

'Apakah Emilia ingin menikam putra kecilku?'     

'Jangan menangis, putra kecilku….'     

'Mengapa Emilia mencekiknya?'     

'Putra kecilku sedang kesakitan!'     

'Emilia, bukankah kau bilang kau sudah menerimanya?'     

'Putra kecilku….'     

'Emilia….'     

'Putra kecilku….'     

'Emilia….'     

Tanpa ia sadari, tubuhnya sudah berlari menuju keduanya. Dengan sigap, ia merebut pisau di tangan Emilia lalu mendorong gadis itu dengan kuat hingga ia terhempas dua meter jauhnya. Luca segera melempar pisau itu jauh-jauh lalu memasukkan kembali bayi itu ke dalam pelukannya.     

Tidak lagi tercekik, bayi itu menangis kuat hingga tersedak ludahnya sendiri.     

Luca menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut untuk menghibur putra kecilnya. Sementara itu, matanya menatap tajam pada Emilia yang masih terduduk bingung di lantai teras.     

"Apa yang kau pikirkan?! Sadarlah Emilia! Ini anakmu!" bentak Luca. Suaranya sedikit gemetaran dan tidak stabil. Sepertinya, adegan horor tadi benar-benar membuatnya ketakutan.     

Bukannya merenungkan kesalahannya, Emilia malah ikut naik pitam. Kegilaan di kedua matanya semakin parah.     

"Aku sadar! Sangat sadar! Mixed blood itu kembali merebut orang berhargaku jadi ia pantas untuk mati!"     

Luca mengernyit dalam, tidak bisa memahami alur pikiran gadis itu. "Siapa yang merebut siapa?!"     

"Makhluk brengsek itu merebutmu dariku!"     

"Ha? Dia tidak merebutku darimu! Dia anakmu, Emilia!"     

"DIA BUKAN ANAKKU! DIA MAKHLUK BRENGSEK YANG LAHIR UNTUK MENGHANCURKAN HIDUPKU DAN MENGAMBIL ORANG BERHARGAKU! KELUARGAKU SUDAH DIAMBIL, AKU TIDAK MAU KAU JUGA … kau juga…." Emilia tidak lagi melanjutkan kata-katanya dan menangis tersedu-sedu.     

Luca juga terkecat, tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Ia benar-benar kebingungan. Bayi ini adalah anak Emilia makanya ia dengan senang hati mengurusnya dan memberikannya semua kasih sayang yang ada.     

'Benarkah begitu?' Sudut hatinya berbisik. Namun, keadaan Luca terlalu kacau untuk menangkap bisikan itu.     

"Aku tidak…." Setelah memaksakan dirinya, Luca hanya bisa mengeluarkan dua kata itu.     

"Kau sudah direbutnya!" seru Emilia di sela-sela tangisnya. "Seperti mixed blood yang merubah keluargaku, mixed blood ini juga merubah semua! Dia sudah merebut kebahagiaanku denganmu dan sekarang ia bahkan mau merebut cintamu kepadaku! Tidak! TIDAK!" Emilia mulai histeris.     

"TIDAK AKAN KUBIARKAN! LEPASKAN DIA LUCA! AKU AKAN MEMBUNUHNYA SEHINGGA IA TIDAK AKAN BISA MELAKUKAN TRIK KECILNYA LAGI!"     

Emilia mengambil kembali pisau dapur itu dan mendekati bayi itu, hendak menyerangnya lagi.     

Bayi itu menggigil ketakutan. Tangan mungilnya mencengkeram kain pakaian Luca dengan erat.     

Di sisi lain, Luca yakin Emilia sedang tidak berpikir jernih. Semua yang ia katakan benar-benar tidak masuk akal!     

Sambil menenangkan bayi itu dengan elusan di punggungnya, Luca mengubah nada suaranya untuk membujuk Emilia. "Kau sepertinya kelelahan sehingga sedikit berhalusinasi. Kau butuh istirahat, Emilia."     

Bukannya terbujuk, ekspresi wajah Emilia semakin ganas. "Aku tidak berhalusinasi Luca. Aku bahkan semakin yakin! Makhluk kecil bangsat itu benar-benar telah menyihirmu. Lepaskan dia Luca! Lepaskan dia dan kembali padaku, OK?"     

Tentunya Luca tidak hendak melepaskan bayi itu. Jika ia melakukannya, yakinlah bayi itu tidak akan melihat esok hari lagi. "Tidak Emilia. Dia bayimu makanya aku memberinya kasih sayang. Kau tahu, aku selalu mencintaimu."     

Namun, Emilia tidak terbujuk. Dimulutnya, Luca mengatakan cinta tapi ekspresinya penuh dengan permusuhan. Pria yang selalu memberinya tatapan lembut itu kini menatap tajam ke arahnya, penuh kewaspadaan.     

Emilia tersadar bahwa ia telah terlambat. Pria yang menempatkan Emilia sebagai hidupnya sendiri tidak lagi berada di sana.     

"Jadi kau lebih memilih dia…."     

Luca mengernyit lebih dalam lantaran ini bukan masalah ia lebih memilih siapa!     

Melihat Luca tidak mengatakan apa-apa, Emilia semakin yakin atas pemikirannya sendiri. Ia tertawa kecil. "Mixed blood … mixed blood … mengapa kau selalu merusak hidupku? Semua impianku?!" teriaknya kesal tapi sedetik kemudian ia kembali tertawa, sungguh menyedihkan.     

"Ambillah! Ambillah semuanya! Orang tuaku, Luca, semua orang berhargaku, AMBILLAH SEMUA! HAHAHAHAHA!"     

"Emilia…." Luca merasa dadanya diremas-remas. Ia ingin memeluk dan menghibur gadis itu tapi tangannya masih memegang pisau membuat ia ragu. Jika ia mendekat, bayi ini akan dalam bahaya.     

Keraguan ini benar-benar memberikan penyesalan yang begitu dalam di hati Luca, terukir dengan jelas hingga ribuan tahun kemudian….     

Emilia berhenti tertawa. Senyum lembut yang penuh dengan kesedihan menghiasi wajahnya yang walaupun sedikit menua, tetap cantik. Air mata jatuh dari sepasang mata yang berkilat penuh dengan tekad kuat. Pandangannya bertemu dengan Luca.     

"Jika kau lebih memilihnya, aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak bisa melihat makhluk itu merebut lagi satu per satu kebahagiaan dalam hidupku...."     

"Emilia!"     

Semuanya bergerak dengan begitu cepat. Pisau yang awalnya mengarah pada bayi kecil itu telah ditekan kuat pada leher Emilia. Luca segera mengulurkan kedua tangannya, berusaha menghentikan Emilia yang berjarak cukup jauh darinya. Ia bahkan tidak bisa menghiraukan bayi kecil yang sudah jatuh bebas dari pelukannya ke lantai kayu yang keras dan dingin.     

"Selamat tinggal, Luca. Aku mencintaimu dan aku harap kau tidak akan pernah memiliki hidup yang bahagia dengan makhluk bangsat itu."     

Pisau itu menggorok leher Emilia. Tubuh itu jatuh terkulai lemas di atas lantai dingin. Suara 'gedebuk' keras menggema di dalam hutan yang sunyi.     

Segalanya menjadi kacau. Luca mengambil tubuh itu, berusaha menghentikan pendarahan dengan kedua tangannya tapi darah segar terus mengalir dan mengalir membentuk kolam hitam yang pekat. Mulutnya terus memanggil nama gadis itu tapi bahkan hingga tenggorokannya kering dan suaranya tidak lagi bisa keluar, tubuh itu terus mendingin dan mengeras, menjadi kaku.     

Ucapan-ucapan gadis itu berputar kembali di dalam benaknya, mengguncang hatinya yang sakit, menyalakan kobaran api kebencian.     

Jika ia tidak mengabaikan Artur, Emilia tidak akan datang membelanya dan membuat tuan muda itu membencinya     

Jika Artur tidak membencinya, Emilia tidak akan diculik dan hamil     

Jika Emilia tidak hamil, mixed blood ini tidak akan lahir     

Jika mixed blood ini tidak lahir, jika ia tidak melindungi bayi ini, Emilia tidak akan mati!     

'Mengapa aku begitu bodohnya melindungi mixed blood ini?! Bukankah Emilia adalah segalanya bagimu?! Bukankah Emilia akan bahagia jika mixed blood ini mati?! Seharusnya kau membiarkannya mati saja daripada gadis tercintamu mati seperti ini?!'     

Luca tidak lagi sadar akan sekelilingnya. Samar-samar ia bisa mendengar tangisan yang kuat yang merupakan tangisan miliknya sendiri. Suara tangisannya semakin samar hingga seluruh dunianya menjadi gelap. Hal terakhir yang ia dengar hanyalah sebuah bisikan….     

"Semua yang merenggut kebahagiaan orang tercintaku harus mati!"     

*****     

"Tuan Luca."     

Sakit kepala yang kuat menyerang Luca ketika ia terbangun dari tidurnya. Menopang kepalanya dengan satu tangan, ia membuka matanya dan mendapati dirinya masih berada di dalam perpustakaan.     

Ia melirik jendela ruangan itu dan mendapati langit sudah gelap dan bunyi rintik hujan deras yang menghantam atap kediaman terdengar jelas.     

'Sejak kapan aku tertidur?' Di ingatan terakhirnya, hari masih pagi walaupun langitnya memang sedikit mendung.     

"Tuan Luca, makan malam sudah siap," ujar Lonel yang telah membangunkan Luca. Di sampingnya terdapat troli berisi makan malam. Ia segera menatap piring-piring itu di atas meja baca perpustakaan.     

Luca mengernyit kecil. "Mengapa kau membawa makanan ke sini?"     

Seharusnya ia akan makan malam di ruang makan. Jika tidak, Mihai akan kembali meributkan mengenai ingkar janji lagi dan merusak properti rumahnya.     

Memikirkan itu, Luca refleks melihat ke arah pintu perpustakaan yang tertutup. Tidak ada tanda-tanda Mihai akan datang dan mendobrak pintu itu untuk mengeluh padanya. Melihat itu, dada Luca seperti tertusuk oleh sesuatu.     

Luca segera mengecek pakaiannya tapi tidak ada benda tajam di sana membuat ia sedikit bingung.     

"Jam makan malam telah lewat. Semuanya sudah makan selain Tuan. Awalnya kami ingin membangunkan Tuan tapi Tuan terlihat lelah jadi kami membiarkan Tuan tidur lebih lama," jelas Lonel setengah berdusta.     

Memang alasan ini adalah salah satunya tapi alasan yang lebih besar adalah mereka tidak ingin mempertemukan sang tuan dengan Mihai dan membuat suasana ruang makan menjadi suram dan menyesakkan.     

"Begitu," gumam Luca singkat.     

Matanya kembali mengayun ke pintu perpustakaan.     

'Jadi dia tidak datang untuk mengeluh … baguslah! Aku tidak perlu mendengarkan teriakannya yang menyebalkan itu dan aku juga tidak perlu melihat wajahnya.'     

Kontras dengan pikirannya, kepalanya tertunduk sedikit lebih dalam.     

'Apa Tuan Luca sedang sedih?' pikir Lonel yang melihat gerakan tubuh yang tidak biasa itu. Namun, ia segera menghilangkan dugaannya.     

Walaupun sang Tuan lebih ekspresif sejak Mihai muncul, tapi kenyataan bahwa tuannya telah kehilangan perasaannya adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal kebenarannya. 'Mungkin Tuan hanya sedang melihat sesuatu yang ada di meja atau di bawah kakinya,' pikirnya seraya kembali fokus menata piring makan malam di atas meja….     

____     

NOTE:     

Untuk Artur, Luca tidak tahu bahwa Artur menyukai Emilia. Luca mengira Artur menculik Emilia karena kebenciannya terhadap Luca. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah Artur menyukai Emilia dan semua yang telah ia lakukan murni karena kecemburuannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.