Kata Bahagia
Kata Bahagia
Mihai dan Liviu menatap piring-piring itu dengan perasaan yang bercampur aduk.
"Da …." Liviu melirik papanya dengan penuh rasa iba.
"Ugh …." Mihai hanya bisa tersenyum pasrah.
Dari siang tadi, Luca sudah membanjiri Mihai dengan berbagai makanan untuk kesehatannya dan sekarang hari sudah sore menjelang malam.
Jika begini terus, Mihai tidak akan bisa memakan makanan malam ini padahal Albert dan Lonel sudah berjanji akan memasak makanan favoritnya sebagai bentuk perayaan.
"Dan ini …." Luca masih tidak berhenti meletakkan piring lain.
Mihai buru-buru menghentikan tangan Luca. "Aku tahu kau bermaksud baik tapi Luca, jika kau menyodorkanku makan terus, aku bisa mati karena kekenyangan." Mihai tidak tahu apakah ada seseorang yang benar-benar bisa mati karena kekenyangan tapi ia merasa akan menjadi seperti itu.
"Ah …."
Untuk pertama kalinya, Luca menyadari gunungan piring kotor di sudut kamarnya. Ia telah terlalu mencemaskan kesehatan Mihai hingga ia tanpa sadar berlaku berlebihan. Padahal biasanya ia tidak akan kehilangan kendali dirinya.
Luca mengemasi piring-piring itu kembali ke troli makanan dengan wajah tertunduk. "Maafkan aku."
'Uah! Jangan pasang wajah sedih seperti itu! Aku jadi merasa bersalah!' Teriak Mihai dalam hati. Ia bahkan merasa bisa melihat telinga dan ekor yang memelas dari Luca.
"Jangan sedih begitu! Aku tidak menyalahkanmu!" Mihai menepuk punggung Luca kuat untuk menyemangatinya kembali ketika Luca selesai mengemasi piring-piring itu dan duduk di samping Mihai.
"Da!" Liviu ikutan menepuk punggung Luca.
Sudut bibir Luca terangkat sedikit melihat istri dan putranya yang tersenyum lebar penuh kebahagiaan di sampingnya. Pemandangan ini menghangatkan hatinya.
Refleks, ia memeluk keduanya dengan erat. Ia tidak bisa berhenti bersyukur bahwa Mihai akhirnya telah bangun.
"Uah! Jangan tiba-tiba seperti ini! Tidak baik untuk jantungku!" Wajah Mihai membentur dada bidang Luca membuatnya teringat bagaimana bentuk tubuh Luca dibalik kain itu. Wajahnya langsung merah padam.
"Da!" Di sisi lain, Liviu sangat menyukai pelukan ini jadi ia membalas memeluk Luca dengan merentangkan kedua lengan pendek dan gemuknya.
Luca mengubah posisinya menjadi bersandar pada kepala tempat tidur lalu memperbaiki posisi pelukannya hingga Mihai dapat bersandar manja di atas dadanya. Ketiganya tidak mengatakan apapun untuk beberapa saat, hanya menikmati momen pelukan itu.
Tangan Luca tidak berhenti memainkan helai demi helai rambut Mihai dan juga menepuk tubuh Liviu dengan lembut membuat bayi kecil itu hampir jatuh tertidur.
"Da …," gumam Liviu dengan nyaman.
Melihat wajah yang bagaikan malaikat itu, Mihai tersenyum lebar.
Jika dipikir-pikir lagi, ia hampir tidak memiliki waktu yang begitu damai dan tenang dengan Luca. Waktu ini terasa seperti hadiah setelah rangkaian kerja keras yang telah Mihai lakukan.
Ingin sekali rasanya untuk menghentikan waktu dan membiarkan momen saat ini tetap abadi.
Seperti dapat membaca pikirannya, Luca menjatuhkan kecupan lembut di kening Mihai. "Walaupun waktu tidak bisa dihentikan pun, aku atau kau atau Liviu bisa memeluk satu sama lain kapan saja selama itu adalah keinginan kita."
"Kau benar." Mihai refleks membalas kecupan itu dengan mencium pipi Luca singkat.
Jantungnya berdegup sangat kencang ketika menyadari apa yang telah ia lakukan tanpa pikir panjang tersebut. Ia menjadi tidak sanggup menatap wajah Luca sehingga buru-buru memalingkan wajahnya. "Malunya," gumamnya dengan wajah panas.
Luca memiringkan kepalanya bingung. "Mengapa harus malu?"
"Eh? kau mendengarnya?!" Mihai tidak sadar bahwa ia telah mengucapkan kata hatinya.
Luca mengangguk, masih bingung karena tidak paham mengapa Mihai berpikir ia tidak akan bisa mendengarnya padahal mereka berada begitu dekat, tubuh menempel dengan tubuh.
"I—itu …." Mihai masih tidak bisa menatap wajah Luca tapi tidak sopan berbicara tanpa menghadap pada lawan bicaranya jadi Mihai memutar bola matanya ke arah lain. "Karena aku menciummu tanpa sadar."
Jantungnya berdegup semakin kencang bagaikan terdapat parade di dalam hatinya setelah mengucapkan kata 'cium'. Hatinya menjerit 'aghhhh!'
Kepala Luca menjadi semakin miring.
Pada saat yang sama, Liviu terbangun dari tidurnya. Dalam keadaan linglung, melihat kepala ayahnya yang miring, kepalanya jadi ikut miring. "Da?"
"Kau malu karena menciumku? Kenapa harus malu?"
"Eh?" Mihai yang otaknya tidak terbiasa menganalisa ikut bingung. Kepalanya juga ikut miring. 'Mengapa aku harus merasa malu?'
Bibir Luca sedikit mengerucut tidak senang. "Apakah menciumku adalah suatu perbuatan yang salah sehingga kau harus malu?"
"Eh?! Bu—bukan itu maksudku!" Mihai buru-buru menggeleng kuat. "A—aku hanya, jantungku berdegup kencang dan aku jadi tidak bisa melihat wajahmu karena kalau melihat wajahmu lebih lama, jantungku terasa akan meledak! Bu—bukankah biasanya di dalam novel-novel percintaan mereka mengatakan ini karena malu?"
'Apa novel-novel itu salah?!' Mihai yang tidak berpengalaman tidak tahu.
Luca mengangguk paham. "Aku tahu terkadang orang mengatakannya sebagai malu tapi aku tidak suka karena kata malu berkonotasi negatif. Jika kau merasa malu hanya karena menciumku, aku merasa seperti kita memiliki hubungan yang terlarang dan tidak benar."
Luca sudah sering berpikiran yang sama ketika membaca novel-novel romansa itu. Ia berpikir bahwa para pasangan di dalamnya itu konyol dengan mengatakan ia malu hanya berada di dekat pria yang ia sukai. Walaupun Luca paham maksudnya, ia tetap berpikir kata malu tidaklah tepat.
"Jantungmu berdegup kencang karena menciumku bukan?"
Mihai mengangguk.
"Jantung berdegup kencang memiliki beberapa arti. Namun, jika dililhat dari konteksnya, dalam kasusmu, seharusnya itu dikarenakan kau merasa senang," jelas Luca dengan detail.
Mihai mengangguk, kali ini setelah jeda yang cukup lama. Ia membutuhkan waktu untuk memahaminya dengan benar.
"Sementara kalau kau memalingkan wajahmu itu karena kau merasa jika kau melihat wajahku lebih lama lagi, kau akan menjadi semakin senang sehingga jantungmu berdegup semakin kencang hingga terasa akan meledak. Jadi bukan karena kau malu seperti telah melakukan hal yang salah."
Mihai mengerjap beberapa kali. Jelas ia semakin tidak paham dengan penjelasan rumit Luca.
"Intinya, jika kau merasa sulit melihat wajahku karena jantungmu berdegup kencang, itu bukan karena malu tapi karena kau senang dan bahagia. Jadi, mulai sekarang, daripada kau bilang 'aku malu', aku akan sangat senang jika kau bilang 'aku terlalu bahagia'."
"Oh … baiklah. Aku rasa aku paham maksudmu."
"Da!" Liviu ikut-ikutan padahal semuanya terlalu rumit untuk otak kecilnya.
Luca mengeratkan pelukannya dengan puas. Kecupan kembali ia daratkan, kali ini pada bibir Mihai lalu pada pipi Liviu.
Mihai yang tidak mengantisipasi itu langsung merah padam. 'Benar-benar tidak baik untuk jantungku!'
"Apa yang kau rasakan?" tanya Luca tiba-tiba.
"Eh?"
"Apa yang kau rasakan sekarang?"
Mihai sempat tidak paham maksudnya sebelum akhirnya mendapatkan pencerahan. Entah mengapa ia tergelitik untuk tertawa.
Kedua tangannya ia rentangkan lalu memeluk leher Luca dengan erat. Walaupun ia masih sulit melihat wajah Luca dan wajahnya sendiri merah padam, ia kembali membalas kecupan di bibir Luca.
Seulas senyum indah melukisi wajahnya yang bagaikan kepiting rebus. Matanya diam-diam melirik ke arah lain.
"Aku sangat bahagia sekarang!"
*****
"Besok kau ingin keluar?"
Luca, Mihai, dan Liviu keluar dari kamar mandi dengan bathrobe membaluti tubuh mereka. Luca mengambil Liviu dari tangan Mihai – hari ini ia yang akan mengenakan Liviu pakaiannya.
"Benar." Mihai mengangguk. "Aku ingin membantu kakak-kakakku menyiapkan acara 'itu'."
Luca terlihat tidak setuju. Mihai baru saja bangun dan Albert sendiri menyuruh Mihai untuk berisitrahat beberapa hari lagi.
Namun, Mihai tidak ingin tidak berkontribusi sama sekali dalam persiapan acara tersebut.
Setelah pertimbangan beberapa saat … "Baiklah. tapi aku akan menemanimu dan jika aku melihat keadaanmu tidak terlalu baik, aku akan langsung menyeretmu pulang, mengerti?"
"Yeay!" Mihai menonjokkan kepalan tangannya ke atas udara kosong sembari meloncat senang.
"Da!" Liviu ikutan mengangkat kepalan tangan mungilnya dengan wajah berseri-seri.
"Jangan khawatir Luca!" Mihai memperlihatkan ototnya dan menepuknya dengan bangga. "Aku sangat kuat!"
Dengusan lembut tertangkap telinga Mihai. Ia langsung menatap Luca dengan cemberut.
"Agh! Luca, kau tidak percaya padaku?!"
Luca pura-pura polos dan memasang wajah bingung. "Aku tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya kau masih demam. Lebih baik kau tidak pergi besok." Ia meletakkan telapak tangannya pada kening Mihai.
Mihai menepis tangan Luca. "Jangan berusaha mencari alasan untukku! Aku pasti akan keluar besok dan sudah kubilang aku ini kuat!"
"Baiklah. Aku paham." Luca menepuk kepala Mihai pelan. Ia sebenarnya mendengus bukan karena tidak percaya kepada Mihai tapi hanya respons refleks yang ia sendiri tidak paham mengapa ia melakukannya.
Namun, karena respons Mihai terlalu menyenangkan, ia tanpa sadar menjahili Mihai sedikit.
Suasana hati Mihai kembali bahagia dan ia mulai berpikir untuk mengunjungi tempat-tempat lain dengan Luca. Ia diam-diam ingin menggunakan kesempatan ini untuk nge-date juga.
Tidak ia ketahui bahwa Luca juga memikirkan hal yang sama. Sementara Liviu sangat bahagia karena akhirnya ia bisa keluar jalan-jalan bersama papanya lagi.
Di saat keluarga bahagia ini penuh dengan aura bunga, di luar kamar mereka telah berdiri seorang half-beast mungil yang diselimuti kobaran api amarah.
Ia mengetuk pintu kamar dengan kasar.
"Hm? Ada apa Kak Vio?" tanya Mihai setelah membuka pintu dan sebelum mendapatkan respons, ia telah ditarik pergi oleh kakaknya yang terlihat sangat jengkel dan marah.